Hidup adalah upaya untuk mencari nilai akhir

Belajar Filsafat Ramah Tingkah, Why Not?*

♠ Oleh Roesly. Kh | | 12.18
Sudah jamak di ketahui, kajian mengenai filsafat menjadi momok yang ditakuti sekaligus ditentang di berbagai kalangan, lebih-lebih di kalangan pesantren salafi., yang notabene mengutamakan nilai relegiusitas, dan cenderung menafikan peran akal sebagai pisau analisa dalam menyelesaikan persoalan. Lebih tragis dari itu, filsafat menjadi buah bibir dan menghadirkan isu sumbang yang tidak enak di dengar, yaitu klaiman menyesatkan dan filsafat cenderung membentuk pola pikir yang liberal.
Juga tidak jarang didapatkan, pemikiran-pemikiran filsafat melampaui ruang dan waktu yang cenderung membentuk praktisi filsafat terkesan berpolah tingkah aneh-aneh dan dan berpenampilan nyentrik. Konsekwensinya, anggapan negatif dan klaiman miring terhadap filsafat, semakin kuat dengan beberapa pola tingkah laku orang yang mempelajari dan bergelut mendalami filsafat itu sendiri, yang dalam kaca mata masyarakat awam dianggap tidak sesuai dengan alur fikirannya.
Ironisnya, toh, filsafat mempunyai ruang luas pembahasan yang mencakup semua ilmu pengetahuan, akan tetapi saat ini, filsafat menempati ruang  yang minim peminatnya dan menjadi samudera ilmu yang di kambing hitamkan oleh klaiman-klaiman tidak bertanggung jawab. Hal ini, merupakan sebuah problema akut-massif yang mengkecamba dan setidaknya diperlukan penanganan serius, dan berkelanjutan. Sekurang-kurangnya upaya tersebut sebagai tawaran bentuk usaha meluruskan citra filsafat pada arah yang sebenarnya. 
Sejatinya, filsafat tidak demikian. Akan tetapi filsafat merupakan ilmu yang komprehensip, koheren. Lebih dari pada itu, filsafat dalam menyelesaikan masalah tidak hanya terpaku dalam satu sisi, melainkan dilihat dari berbagai sudut pandang.
Di samping juga tidak mengedepankan ego individual yang melahirkan kebenaran sepihak, akan tetapi filsafat mengutamakan penalaran-penalaran secara tetap, dan memurnikan pikiran-pikiran secara tetap pula. Sehingga menuai hasil sementara yang masih membutuhkan dinamisasi pemikiran sebagai bentuk usaha mendapatkan ruang dalam benak banyak orang akan hasil fikiran kefilsafatan.

Filsafat Sebagai Pisau Analisa
Tidak bisa dipungkiri, dan tidak sepenuhnya salah, jika filsafat dikatakan sebagai pisau analisa kaitannya dengan semua disiplin ilmu pengetahuan. Pendapat ini terbukti dengan beberapa kandungan kajian filsafat itu sendiri. Sedangkan yang lebih familiar dalam alam fikiran banyak orang adalah tiga hal yang menjadi hakikat dari pembahasan kefilsafatan secara umum, yaitu ontologi, epistimologi dan aksiologi. Lebih dari itu, disadari atau tidak filsafat memuat pemikiran secara ketat, sistematis yang hasilnya dibuktikan dengan bentuk tindakan riil secara praksis serta mempunyai sejumlah makna khusus yang dikandung istilah filsafat secara independen.
Ontologi merupakan mediasi perenungan kefilsafatan yang paling tua. Terbukti, pada awal mula munculnya pemikiran barat sudah menunjukkan lahirnya perenungan di ranah ontologi. Hal ini, dicetuskan  oleh Thales, seorang filosof yang bijak dan arif serta terbilang filosof tertua  Yunani. Awalnya berangkat dari renungan Thales terhadap air yang terdapat di mana-mana, ia sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan subtansi terdalam, yang pada gilirannya menjadi asal mula dari segala sesuatu.
Nah, dengan datangnya sosok Thales dan bawaan fikirannya berupa ontologi. Sekurang-kurangnya didapatkan sebuah pemahaman terkait ontologi secara fundamental. Ontologi secara fundamental dapat dipahami sebagai awal mula kejadian, dalam kata lain sebagai subtansi dari segala sesuatu. Tentunya hal tersebut terkait ontologi, juga akan mendapatkan hal-hal yang cenderung membuat dilematis untuk menyikapi. Kenampakan (appereance), dengan kenyataan (reality) menjadi pertimbangan awal untuk memilih satu dengan yang lainnya, guna mendapatkan subtansi-subtansi yang diharapkan. Dengan dua kata yang hampir mirip tersebut, ontologi semakin luas pembagiannya. Ontologi bersahaja, monistik, kuantitatif dan kualitatif.
Untuk tidak terkesan menghakimi terhadap produk pemikiran yang dihasilkan Thales, maka sangatlah pantas membangun prinsip untuk tidak mengambil keseluruhan ajarannya juga tidak membuang sepenuhnya terkait dengan ajarannya mengenai air sebagai awal mula segala sesuatu, melainkan pendiriannya bahwa sangat mungkin segala sesuatu berasal dari satu subtansi.
Lebih lanjut dari itu, epistimologi juga termasuk bagian urgen dalam melengkapi hakikat kajian kefilsafatan. Sudah menjadi hal yang jamak dikalangan civitas pendidikan, bahwa epistimologi merupakan sejauh pemahaman seseorang dalam menyikapi masalah yang pada gilirannya menghasilkan makna dan mendapatkan tawaran solusi dalam menyelesaikan sebuah masalah yang ada. Artinya epistimologi lebih mendekati definisi yang dilahirkan dari perspektif seseorang, dan hal tersebut bisa diterima banyak orang. Toh, kerap ditemui hal itu,  hanya menjadi perdebatan panjang terkait epistimologi yang dihasilkan individual perorangan.
Untuk itu, menjadi hal yang urgen barangkali, pertanyaan-pertanyaan kritis dan dasar-dasar pikiran logis, guna melahirkan pemikiran yang rasional. Hubungannya dengan masalah, setidaknya  mendapatkan solusi yang solutif. Namun, tidaklah cukup dengan dua penunjang; pertanyaan kritis dan pikiran logis, tanpa harus ada penunjang lain yang mengafirmasi keduanya. Yaitu, pemakaian dan penyebutan. Artinya, apa hanya sebatas menanyakan makna suatu kata, atau malah menanyakan makna secara simbolis?
Dari sini dapat dipetakan ulang terkait pertanyaan makna secara simbolis atau pertanyaan makna riil dari sebuah kata. Selanjutnya perkataan dan pernyataan barangkali menjadi tambahan opsi pelengkap guna mendapatkan kebenaran makna yang diharapkan. Sehingga kecil kemungkinan terjadinya kesan dikotomi makna dalam memahami sebuah kata-kata, yang pada gilirannya bisa dikatakan bersikap ramah dengan adanya perbedaan cara pandang dan lebih pluralis akan perbedaan tersebut.
Terlepas dari semua itu, aksiologi juga mempunyai andil besar dalam mewujudkan renungan kefilsafatan. Awalnya pada abad lampau, ketika Socrates, filosof Yunani menyusuri jalan-jalan menuju Athena dengan tanpa di nyana mengucapkan kata-kata yang sampai saat ini masih tetap popular di kalangan praktisi filsafat;  kenalilah diri sendiri. Dan berabad-abad sesudah hidupnya, seorang penyair terkenal Alexander Pope mengatakan sekaligus mengafirmasi kata-kata sokrates “penyeledikan mengenai umat manusia dalam arti kata yang sebenarnya hendaknya ditunjukkan kepada manusianya sendiri.”
Dari kata-kata Socrates dan Alexander Pope, maka dapat ditarik benang merah keduanya, bahwa pengenalan terhadap diri sendiri sangatlah penting dan sangat fundamental sekali. Dalam redaksi bahasa lain, mengenali eksistensi diri atau mengetahui eksistensi sesuatu, yang pada gilirannya akan dapat menggiring pada ruang esensial diri sendiri juga segala sesuatu.
Yang terpenting dengan ikut andilnya aksiologi dalam renungan kefilsafatan adalah menghasilkan nilai. Baik nilai tersebut bersifat objektif atau subjektif. Objektif berarti nilai tersebut didapatkan dari kualitas yang dapat dikenal dari objeknya. Artinya nilai disandarkan pada kualitas objek yang tampak. Ironisnya, penilaian ini terkesan menghakimi terhadap suatu objek.
Sedangkan penilaian subjektif, yaitu penilaian yang berangkat dari kecenderungan individual terhadap sesuatu. Dalam penerapannya yang lebih efektif ialah kolaborasi penilaian objektif dan subjektif yang dalam ilmu filsafat dikenal dengan istilah nilai instrumental. Nah, dengan upaya tersebut maka akan didapatkan penilaian yang bijaksana, karena tidak condong pada subjektifatas seseorang dan objektifitas sesuatu. Melainkan mampu menghubungkan antara subjek dengan objek dalam suatu keadaan tertentu

Filsafat Ramah Tingkah
Selain seni dan agama, filsafat juga punya peran penting dalam menghasilkan makna hidup di tengah problema yang menghimpit. Disadari atau tidak, filsafat memuat ajaran-ajaran terkait keluhuran hati. Hal ini bisa dibuktikan oleh sikap respek para orang yang bergelut dalam dunia filsafat ditengah-tengah kenyataan hidup yang kompleks kini. Sudah menjadi hal yang wajar wawasan kefilsafatan dalam benak filosof berorintasi pada maslahatil ummah dan condong pada arah humanisme teosentris.
Pertanyaannya, menapa filsafat menempati ruang negatif di kebanyakan benak dan alam fikiran orang? Problem ini massif dan menjadi persoalan awal yang mesti ditangani lebih awal pula. Berbagai klaiman negatif kadung disandangkan pada filsafat itu sendiri, namun bukan lantas harus dijadikan hal yang musqil tanpa akhir, melainkan hal itu adalah cambukan awal untuk kembali menata citra filsafat pada arah yang sebenarnya, citrah filsafat sebagai gerbang semua ilmu pengetahuan.
Lebih lanjut lagi, sikap egosentris praktisi filsafat juga tidak bisa dielakkan dalam kancah intelektual, sehingga ada pengakuan benar sepihak dalam menyampaikan pendapat. Nah, tanpa disadari hal ini pada gilirannya akan juga memberi bekas akan klaiman-klaiman negatif yang tidak diinginkan. Semisal filsafat akan melahirkan produk intelektual yang liberal yang penetang terhadap tatanan yang sudah ada, padahal sejatinya tidak demikian, melainkan pemikiran yang melalaui tangga kefilsafatan tidak terikat ruang dan waktu. Artinya selalu bersifat dinamis dan sangat menolak terhadap sikap statis.
Banyak hal mengenai filsafat, yang telah disebutkan di atas, setidaknya hal itu semua, dijadikan pertimbangan awal, bagaimana memperindah tindakan yang dihasilkan dari sistematisasi pemikiran yang di implementasikan dalam bentuk praksis yang nyata. Bukan semata-mata dijadikan senjata dalam mengalahkan lawan dalam berdealektika atau dijadikan medium untuk mencari popularitas diri,
Akan tetapi semua yang berhubungan dengan filsafat, di renungkan ulang dan jadikan mediasi untuk memperhalus budi dan mengokohkan keyakinan akan adanya Tuhan, yang semua itu tidak berguna tanpa di implementasikan dengan ramah tingkah laku dalam bersikap. Sehingga bisa menjadi bijak dan santun dalam menghadapi setiap realitas hidup.

0 komentar:

Posting Komentar