Hidup adalah upaya untuk mencari nilai akhir

JEJAK PEMIKIRAN KHAWARIJ DALAM ISLAM; Dari Pergolakan Politik ke Ekstremitas Teologis

♠ Oleh Roesly. Kh | | 20.44
Pendahuluan
Kematian khalifah Usman ibn Affan secara tragis melalui tangan para perusuh tahun 35 H telah menyebabkan terjadinya beberapa peristiwa yang mengguncang tubuh umat Islam. Salah satu di antaranya adalah perang Shiffien, 2 tahun setelah  Ali ibn Abi Thalib dibai’at jadi khalifah menggantikan Usman.
Perang besar antara kubu Ali dengan kubu Mu’awiyah ibn Abi Sufyan itu, tidak hanya mengoyak umat Islam menjadi dua kubu besar secara politis, tetapi juga melahirkan dua aliran pemikiran yang secara ekstrem selalu bertentangan yaitu Al-Khawarij[1] dan Syi’ah.
Misalnya Khawarij mengkafirkan dan menghalalkan darah Ali setelah peristiwa, sementara Syi’ah belakangan mengkultuskan Ali demikian rupa sehingga seolah-olah Ali adalah manusia tanpa cacat.[2] Sekalipun semula kedua aliran tersebut bersifat politik tapi kemudian untuk mendukung pandangan dan pendirian politik masing-masing, mereka memasuki kawasan pemikiran agama (baca: teologi)
Makalah ini tidak akan membahas kedua aliran ekstrem tersebut, tapi menfokuskan pembahasan pada aliran Khawarij, yang tercatat dalam sejarah memiliki pandangan-pandangan politik dan teologi yang ekstrem. Pertanyaan yang ingin penulis teliti jawabannya adalah latar belakang apa yang menyebabkan Khawarij tidak saja mempunyai pandangan-pandangan politik dan teologi yang ekstrem tapi juga berperilaku keras bahkan cenderung kejam. Mereka, kata Abu Zahra, suka menyabung nyawa dalam bahaya meskipun tidak ada pendorong untuk berbuat itu.[3] Ironisnya mereka sangat kejam dan sama sekali tidak toleran dengan perbedaan pendapat sesama Muslim, tapi sangat toleran dengan Ahlul Kitab.
Tapi sebelum menganalisis masalah di atas penulis akan deskripsikan terlebih dahulu asal usul dan perkembangan Khawarij, dengan tekanan pada asal usul, untuk dapat melihat secara jelas bagaimana persoalan politk diberi legitimasi teologi di samping alasan teknis terbatasnya halaman untuk berbicara panjang lebar tentang perkembangan Khawarij masa-masa selanjutnya.
Asal-Usul dan Perkembangan Khawarij
Pada tahun 37 H Mu’awiyah, Gubernur Syria memberontak terhadap Amir al-Mu’minin Ali ibn Abi Thalib. Pemberontakan itu meletus karena dalam suasana berkabung dan emosi yang meletup-letup karena pembunuhan ‘Utsman, Ali mengeluarkan keputusan yang tidak strategis sebagai seorang kepala negara, yaitu pemecatan Mu’awiyah dari jabatan Gubernur Syria. Dengan pemecatan itu Mu’awiyah punya dua alasan untuk melawan Ali. Tidak jelas mana yang lebih dominan, apakah karena ingin menuntut balas atas kematian ‘Ustman atau ingin mempertahankan jabatannya sebagai Gubernur.
Sebelum peperangan meletus, Ali sudah mengirim Jarir ibn Abdillah al-Bajuli untuk berunding dengan Mu’awiyah.[4] Tapi perundingan tidak berhasil mencegah peperangan karena tuntutan Mu’awiyah yang terlalu berat untuk dipenuhi oleh Ali. Mu’awiyah menuntut dua hal. Pertama, ekstradisi dan penghukuman terhadap para pelaku pembunuhan Amir al Mu’minin Usmanibn ‘Afan; dan kedua, pengunduran diri Ali dari jabatan Imam (khalifah) dan dibentuk sebuah Syura untuk memilih khalifah baru.[5]
Sekali lagi sebelum peperangan benar-benar meletus Ali mengirim kembali juru runding yang terdiri dari Syabats ibn ‘Aibi al-Yarbu’i at-Tamimi, Ali ibn Hatim at-Tha’i, Yazid ibn Qais al-Arhabi, dan Ziyad ibn Khasafah at-Taimi at-Tamimi, untuk merunding dengan Mu’awiyah. Tapi perundingan inipun juga berakhir dengan kegagalan.[6]
Berawal dari kegagalan tersebut kemudian memicu berkobarnya perang Shiffien, namun yang penting diungkap di sini dalam kaitannya dengan kelahiran aliran Khawarij adalah ide ‘Amru ibn ‘Ash dari pihak Mu’awiyah untuk memecah belah pasukan Ali dengan mengangkat lembaran mushhaf Al-Qur’an dengan ujung tombak sebagai isyarat mohon perdamaian dengan bertahkim kepada Kitab Suci Al-Qur’an.
Karena peristiwa tahkim inilah akhirnya melahirkan kelompok oposisi yang tidak setuju dengan kebijakan Ali dalam kaitannya menyetujui tahkim dan meninggalkan kamp Ali di Kufah pergi ke luar kota menuju desa Harura yang tidak seberapa jauh dari Kufah. Dari nama desa Harura inilah, maka untuk pertama kali mereka itu dikenal dengan nama golongan Al-Harûriyah. Di Harura inilah mereka membentuk organisasi sediri dan memilih Abdullah ibn Wahab ar-Rasibi dari Banu ‘Azd sebagai pemimpin mereka.[7] Karena mereka keluar dari kubu Ali itulah kemudian mereka dikenal dengan al-Khawârij, bentuk jama’ dari Khâriji (yang keluar).
Semakin lama kelompok yang meisahkan diri ke Harura semakin membesar, hingga bulan Ramadhan atau Syawal tahun 37 H jumlah mereka sudah mencapai 12.000 orang. Dan kamp mereka kemudian pindah ke Jukha, sebuah desa yang terletak di tepi barat sungai Tigris. Ali berusaha berunding dengan mereka tapi tidak membuahkan hasil.
Latar Belakang Ekstremitas  Khawarij.
Seperti yang sudah diungkap di atas, Khawarij memiliki pemikiran dan sikap yag ekstrem, keras, radikal dan cederung kejam. Misalnya mereka menilai Ali ibn Abi Thalib salah karena menyetujui tahkim dan kesalahan itu membuat Ali menjadi kafir. Mereka memaksa Ali mengakui kesalahan dan kekufurannya untuk kemudian bertaubat.
Sangat lucu dirasa, begitu Ali menolak pandangan mereka walaupun dengan mengemukakan argumentasi, mereka menyatakkan keluar dari pasukan Ali dan kemudian melakukan pemberontakan dan kekejaman-kekejaman. Yang menjadi sasaran pengkafiran tidak hanya Ali bi Abi Thalib sendiri, tapi juga Mu’awiyah ibn Abi Sufyan, ‘Amru ibn ‘Ash, Abu Musa al-Asy’ari dan lain-lain yang mendukung mereka.
Yang menarik kita teliti adalah, latar belakang apa yang menyebabkan mereka memiliki pandangan seperti itu. Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita  perlu melakukan analisis terhadap pengertian istilah Qurrâ’ atau Ahl al-- Qurrâ’, sebutan mereka sebelum menjadi Khawarij.
Pertanyaannya adalah Apakah istilah itu berarti para penghafal Al-Qur’an atau orang orang kampung. Kalau sekiranya yang benar adalah yang pertama maka persoalannya adalah persoalan teologis murni (persoalan intepretasi yang sempit dan picik), tapi kalau yang benar adalah yang kedua persoalannya adalah persoalan sosial politik. Penulis kira inilah kata kunci yang dapat membantu kita memahami latar belakang ekstremitas Khawarij.
Melihat pemahaman Khawarij yang dangkal dan literer terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang mereka jadikan dalil membenarkan pandangan dan sikap politik mereka, maka penulis lebih cenderung mengartikan istilah Qurrâ’ bukan sebagai para penghafal Al-Qur’an, tetapi orang-orang desa.
Sejalan dengan itu Harun Nasution menulis bahwa kaum Khawarij pada umumnya terdiri dari orang-orang Arab Badawi. Hidup di padang pasir yang tandus membuat mereka bersifat sederhana dalam cara hidup dan pemikiran, tetapi keras hati serta berani, dan bersikap merdeka, mereka tetap bersikap bengis, suka kekerasan dan tak gentar mati.
Sebagai orang Badawi mereka tetap jauh dari ilmu pengetahuan. Ajaran-ajaran Islam sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits, mereka artikan menurut lafaznya dan haus dilaksanakan sepenuhnya. Oleh karena itu iman dan paham mereka merupakan iman dan paham orang sederhana dalam pemikiran lagi sempit akal serta fanatik.
Di sinilah letak penjelasannya, bagaimana mudahnya kaum Khawarij terpecah belah menjadi golongan-golongan kecil serta dapat pula dimengerti tentang sikap mereka yang terus menerus mengadakan perlawanan terhadap penguasa-penguasa Islam dan umat Islam yang ada di zaman mereka.[8]
Terlepas dari semua yang tersebut diatas, Khawarij tidak hanya mengkafirkan Ali bn Abi Thalib tapi juga Kalifah Utsman ibn Affan mulai tahun ketujuh pemerintahannya. Pengkafiran terhadap Utsman (masalah teologis) juga berlatar belakang politik (kepentingan), tepatnya masalah tanah-tanah Sawad yang luas di wilayah Sasaniyah yang ditinggalkan oleh para pemiliknya.

Sekte-Sekte dalam Khawarij
Pada prinsipnya kelompok khawarij mempunyai kesamaan dalam pendapat mengenai masalah teologis yaitu mereka tidak mengakui kekhalifahan Usman maupun Ali, mereka juga beranggapan tidak sah perkawinan bagi kelompokmya terkecuali dengan kelompoknya sendiri, disamping juga mengkafirkan orang yang berdosa besar dan tidak wajib mematuhi imamah yang menyalahi sunnah.[9]
Semakin lama kelompok ini semakin membesar dan mempunyai massa banyak sebagai pengikut. Sehingga dengan ini kemudian tidak bisa dipungkiri terjadinya golongan-golongan kecil ditubuh khawarij sebagaimana yang telah diungkap diatas. Tentunya hal ini dipicu oleh berbedanya penafsiran terhadap persoalan keagamaan dalam kaitannya menetukan argumen teologis sebagai landasan awal dalam menjalankan perintah-perintah agama itu sendiri.
Nah, dalam hal ini setidaknya yang terpenting akan didapatkan delapan golongan. Namun yang sangat dominan dan fundamental hanya tiga golongan.[10] Pertama al-Muhakkimah. Yaitu golongan yang awalnya sangat setia pada Ali namun tidak sedikitpun setuju terhadap keputusan Ali dalam kaitannya dengan tahkim, hingga akhirnya mengklaim Ali kafir. Dan yang menjadi karekteristik kelompok ini adalah taat melakukan shalat dan puasa.
Menjadi menarik kemudian ketika dihadapkan dengan persoalan bid’ah. Bagi kelompok ini bid’ah bisa dikelompokkan menjadi dua kategori. Pertama, bid’ah yang mereka buat tentang konsep imamah. Dalam konsep ini, boleh saja seorang imamah bukan dari kaum Quraisy. Artinya imamah yang mereka angkat yang mampu berlaku adil dan menjauh dari kejahatan adalah imamah yang sah. Adapun ketika tidak menaati aturan al-Quran wajib hukumnya untuk di bunuh.
Selain itu juga, kelompok ini termasuk orang yang paling banyak menggunakan kias dan menurut mereka tidak boleh ada dua imamah dalam satu zaman. Hanya dalam keadaan terpaksa dapat dianggkat imamah lebih dari satu. Baik itu dari kaum Quraisy atau golongan sahaya atau budak.
Kedua, Ali menurut mereka telah banyak melakukan kekeliruan. Dalam bid’ah ini cenderung bermotif sikap tertutup dan tidak menerima terhadap keputusan Ali dalam kaitannya dengan arbitrasi atau tahkim, yakni sikap Ali yang gampang menerima arbitrasi yang ditawarkan oleh Muawiyah yang semua itu bagi mereka adalah sekedar hukum buatan manusia semata dan masih dipertanyakan kebenarannya.
Terlepas dari itu kelompok al-Muhakkimah memandang Ali dan Muawiyah masih belum cakap dan belum mempunyai kemampuan dalam bersikap adil dan mampu menangani masalah terkait dengan tahkim.[11]
Kedua al-Azariqah. Secara garis besar kelompok in adalah pendukung Abu Rayid Nafi ibn Azraq tokoh berpengaruh dikalangan khawarij yang membrontak terhadap Ali. Ia melarikan diri dari basrah ke Ahwaz dan kemudian berhasil menguasai Ahwas dan daerah-daerah sekelilingnya setelah membunuh gebernur yang berkuasa dikota tersebut. Tepatnya pada waktu itu masa pemerintahan Abdullah ibn Zuhair.
Dalam masalah bid’ah ia mempunyai pandangan lebih rinci dari kelompok al-Muhakkimah. Bahkan Untuk mendukung pandangan mereka baik dalam aspek politik maupun teologi, mereka menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an. Misalnya ; tidak hanya menyatakan Ali kafir, tapi juga mengatakan ayat; Wa min an-nâsi man yu’jibuka qauluhu fi al-hayâh ad-dunya wa yusyhidullah ‘ala mâ fi qalbihi wa huwa aladdu al-khshâm) diturunkan Allah mengenai Ali sedangkan tentang Abdurrahman ibn Muljam yang membunuh Ali Allah menurunkan ayat (wa minannâsi man yasyri nafsahu ibtighâa mardhâtillah).[12]
Lebih eksrem dari itu adalah pahamnya tentang pengkafiran terhadap orang yang tidak ikut tempur dan mengkafirkan orang-orang yang enggan hijrah. Konsep dalam perang mereka membolehkan membunuh anak-anak perempuan. Dalam masalah hukuman rajam terhadap para penzinah mereka tidak setuju bahkan tidak mengakui hal tersebut. Alasannya adalah dikarenakan hukuman tersebut tidak tercantum dalam al-Quran.
Selain itu juga mereka berpendapat bahwa anak orang musyrik bersama orang tuanya dalam neraka. Musyrik bagi kelompok ini merupakan dosa besar yang pantas mendapat ganjaran neraka dan kekal didalamnya. Bukan hanya itu, berpura-pura dalam perkataan maupun perbuatan juga tergolong dosa besar.
 Ketiga al-Najdad, kelompok ini adalah golongan yang mengikuti pemikirannya Najdah ibn amir yang lebih dikenal dengan panggilan Ashim ia menetap di Yaman. Pemikiran Najdah banyak mengkritisi terhadap kelompok al-Azariqah misalnya mengenai hukum kafir bagi orang yang ikut perang dan dibolehkannya membunuh anak-anak perempuan dalam peperangan. Hal ini dikritisi oleh Najdah dan hasil dari buah pikirannya salah satunya adalah tidak harus membunuh anak perempuan, cukup dengan menawan an sich.
Sedangkan dalam ajaran agama menurut kelompok najdah ini terdiri dari dua hal. Pertama, mengenai allah, para rasul, haram membunuh sesama muslim, mengikuti secara umum apa yang diturunkan oleh Allah. Semua ini wajib bagi setiap individu mengenalnya, terlebih dalam kaitananya dengan sifat-sifat Allah. Dalam hal ini tidak ada tawaran lagi dan kejahilan tidak bisa dijadikan alasan untuk melegitimasi despensasi.
Kedua, selain yang disebut diatas, kejahilan dapat dijadikan sebuah alasan bagi penetapan yang halal dan yang haram. Artinya jika tidak tahu hukumnya tidak mendapat dosa, sehingga dengan pemikiran ini kemudian kelompok najdad memungkinkan mujtahid salh dalam menetapkan hukum, namun anehnya kesalahan seorang mujtahid dalam berijtihad harus dikenakan hukuman sebelum adanya bukti yang kuat, dalam kaitannya dengan klaiman terhadap seseorang.
Penutup
Dari uraian di atas penulis dapat megambil kesimpulan bahwa pemikiran politik dan teologi serta sikap ekstrem Khawarij lahir terutama disebabkan oleh latar belakang sosio-kultural mereka sebagai orang-orang Arab Badawi yang punya watak keras, kasar dan berani sehingga mereka tidak gentar mati walaupun untuk hal-hal yang tidak perlu. Sebutan Qurrâ’ bagi mereka sebelum dikenal dengan nama Khawarij tidaklah menunjukkan arti para penghafal Al-Quran, tapi menunjukkan arti mereka sebagai orang-orang desa.
Dari sejarah Khawarij itu kita dapat mengambil pelajaran bahwa persoalan-persoalan sosial politik kalau dibungkus dengan agama bisa mendatangkan bahaya yang lebih besar, apalagi kalau dilakukan oleh orang-orang yang pemahaman dan penguasaannya terhadap ajaran Islam sangat terbatas bahkan sangat sempit. Wawasan yang sangat sempit dan tertutup dapat melahirkan ekstremitas tidak hanya pemikiran tapi juga sikap dan tindakan.



Daftar Pustaka

Abu Zahrah, M, Sejarah Aliran-aliran dalam Islam Bidang Politik dan Aqidah, terjemah Shobahussurur, Gontor : PSIA, cet.I, 1991.
Ghazaly, Ali Musthafa, Târîkh al-Firaq al-Islamiyah wa Nasyah ‘Ilmi al-Kalâm ‘Inda al-Muslimîn, Cairo, Maktabah Muhammad Ali Shabij wa Auladih, cet. III. 1958.
Nasution, Harun, Teologi Islam, Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan, Jakarta: Jakarta, UI Press, cet.V, 1986.
Shiddiqi, Nouruzzaman, Syi’ah dan Khawarij dalam Perspektif Sejarah, Yogyakarta, PLP2M, cet, I, 1985.
Asy-Syahrastani, Muhammad Abdul Karim, Al-Milal wan-Nihal, Beirut: Darul Fikr, tt.


[1] Selanjutnya disebut Khawarij, tanpa alif  lam (al)
[2] Lebih lanjut tentang bagaimana berhadap-hadapannya pemikiran Khawarij dan Syi’ah baik dalam politik maupun agama, baca Nourouzzaman Shiddiqi, Syi’ah dan Khawarij dalam Perspektif Sejarah (Yogyakarta: PLP2M, 1985) terutama bagian penutup hal. 84 – 93.
[3] M. Abu Zahra, Sejarah Alran-aliran dalam Islam Bidang Politik dan Aqidah, diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Shobahussurur (Gontor : PSIA, 1991) hal 77.
[4] Mahayuddin Haji Yahaya, Sejarah Awal Perpecahan Umat Islam (11 – 78 H/632 – 698 M) (Kualalumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka, 1986) hal. 108.
[5] Nuruzzaman Shiddiqi, Syi’ah dan Khawarij dalam Perspektif Sejarah (Yogyakarta: PLP2M, 1985), Hal. 36.
[6] Ibid, Hal. 112
[7] Ibid, hal. 39.
[8] Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-Aliran, ( Jakarta: UI Press, cet.V, 1986.) hal. 13.
[9] Muhammad Abdul Karim Asy-Syahrastani,  Al-Milal wan-Nihal, (Beirut: Darul Fikr), hlm.  102
[10] Ibid, hlm. 103
[11] Ibid. hlm.108
[12] Mushtafa Al-Ghazaly, Târikh al-Firaq al-Islamiyah wa Nasyah ‘Ilmi al-Kalâm ‘Inda al-Muslimîn, Cairo, Maktabah Muhammad Ali Shabij wa Auladih, cet. III. 1958, hal. 37.

0 komentar:

Posting Komentar