Hidup adalah upaya untuk mencari nilai akhir

Kabar Tentang Pelaut

♠ Oleh Roesly. Kh | | 12.10
Waktu itu, tepatnya kamis sore desaku menumpahkan air mata. Isak tangis warga menjadi riuh irama menggantikan nyanyian belalang dan jangkrik menjelang isya’. Yah! Sahruji seorang nelayan yang ulet, ramah dan santun masih belum pulang rumah, hanya saja monthe’[i]nya datang tak bertuan. Entah! aku kurang paham apa yang telah menimpa Sahruji di laut? Kejadian ini menjadi ganjil di benakku, sebab selama beberapa tahun aku hidup dipesisir tidak pernah aku dapatkan kejadian seperti ini. Pernah satu kali, akan tetapi motifnya berbeda. Dua tahun yang lalu, Sami’an warga kampung sebelah juga hilang di laut, tapi menurut rekan melautnya ia terkena hantaman badai dan monthe’nya guling diterpa ombak. Dari saking besarnya ombak Sami’an tidak bisa bertahan sehingga ia tenggelam dan larut dalam arus yang terus menggerus kedasar pantai.
Namun beda dengan kejadian yang menimpa Sahruji. Ia hilang tanpa ada yang tahu. Anehnya, monthe’ yang ia tumpangi menyisir gelombang sampai ketepian pantai. Seakan monthe’ itu mewakili sahruji untuk menyampaikan salam terakhir kepada warga setempat. Hal inilah yang senantiasa menjadi biji prihatin dalam hati setiap warga. Yah! Indonesia Negara maritime, Negara yang wilayahnya banyak terdiri dari lautan dari pada daratannya. Sehingga tidak mengherankan jika nelayan menjadi mata pencarian yang dipilih banyak orang. Maklumlah Indonesia negri yang minim lapangan kerja. Namun sungguh sangat menakjubkan, nelayan dianalogikan sebagai pekerjaan “abental ombek asapok angin[ii] begitu adagium orang Madura mengenai profesi nelayan. Betapa tidak, jika nelayan mempertaruhkan raga dan jiwanya untuk juga ikut andil dalam memakmurkan bangsa dan negaranya. Dapat dibayangkan jika tidak ada jasanya seorang nelayan, dapatkah kita menikmati hasil laut yang banyak menyuplai gizi bagi pertumbuhan dan berkembangnya kecerdasan otak anak bangsa.
Tak dapat dipungkiri, kabar tentang Sahruji menjadi perbincangan hangat warga desaku, menjadi sebuah kenyataan yang memilukan, banyak orang merasa kehilangan sesosok orang yang selalu bersikap ramah dan santun pada siapapun. Ada yang bilang Sahruji hilang dilaut sebab dianiaya temannya yang sama-sama melaut. Ada juga yang bilang Sahruji hilang tanpa bekas diterkam buaya lapar di pesisir tempatnya ia bekerja; menjala ikan. Tapi semua itu menjadi tidak logis ketika dihadapkan dengan keramahan sikap santunnya Sahruji. Juga tidak mungkin seokor buaya itu sembarang menerkam bangsa manusia. Sebab, bagaimanapun manusia adalah mahluk yang disempurnakan dan disegani oleh mahluk lain.
Perbincangan mengenai hilangnya Sahruji tambah menjadi buah bibir, isu tersebut serasa semakin sempurna ketika mengingat sosok Sahruji yang ramah dan santun. Yah! pernah ia dicalonkan sebagai ketua suku oleh masyarakat, namun ia menolaknya. Dan ia berkata “Lebih baik saya melaut dari pada jadi ketua suku, karena setiap sesuatu akan dipertanggung jawabkan kelak. Sedang melaut banyak hal yang akan kudapatkan, misalnya bagaimana saya membaca gelombang dan memaknai air yang mengombak ketepian. Hal itu, sebenarnya ayat kauniyah Tuhan dan sebagai symbol untuk dikaji lebih mendalam. gelombang adalah simbolik kerasnya kehidupan. Adapun air yang mengombak adalah realitas hidup yang tidak selamanya tenang, akan tetapi hidup adalah perjuangan untuk mencapai nilai akhir, layaknya ombak yang terus mengalir ketepian.  
@@@
Kesiur angin tepi pantai mengundang banyak orang datang untuk sekedar duduk-duduk dan menghilangkan penat sejenak digubuk yang terbuat dari pohon bambu beratap rumbia. Gubuk ini, merupakan peninggalan nenek moyang kami dahulu, semasa Majapahit dan Singosari berkuasa dipelataran Nusantara. Arsiteknya cukup kuno tapi anehnya tidak membosankan bagi siapa saja yang datang ke gubuk tersebut, disamping juga letaknya yang sangat strategis. Yaitu, dibawah pohon beringin rindang, tepi pantai dan dilengkapi dengan panorama yang cukup memikat pandang. Sehingga tidak mengherankan jika mereka-nelayan- selalu menghabiskan waktu setelah sejenak mengontrol sampan dan monthe’nya didasar laut. Juga terkadang menjadi tempat istirah dan melelapkan mata hingga terbangun sampai matahari tanpa disadari masuk keperaduannya.
Terkadang aku ikut nimbrung di gubuk itu, sekedar menghilangkan penat hidup, setelah seharian lelah menyusuri pantai mencari buah bakau yang kemudian dikeringkan untuk dijual sebagai biaya penyambung hidup. Yah! Begitulah aktifitasku tiap hari, setelah aku benar-benar menjadi yatim. Hidup memang perjuangan kesahku. Di gubuk itu, terlihat jelas putih gelombang menggunung, dan debur ombak senantiasa menyisir tepian laut, cukup buatku miris dan terkadang bahagia merasa nikmat berlama-lama menunggui matahari terbenam. Bahkan kerap kali aku menunggui para pelaut datang dengan keranjang ikan hasil jalaannya.  
 Berlama-lama di tepi laut pikiranku terseret kisah-kisah melankolis tentang Nusantara lama. Tentang kejayaannya, benar memang! jika Cak Nun bilang sungguh Indonesia adalah penggalan surga. Betapa tidak? jika lambaian janur dengan terpaan angin buat mata seakan tidak mau berkedip, nyanyi burung pagi di reranting pohon buat jiwa serasa di surga. Apalagi ketika menikmati terbit dan terbenamnya matahari di tepi laut, niscaya tidak dapat digambarkan keindahannya. Tak salah kata nenekku, laut teramat dalam dan indah untuk di gambarkan. Gelombang yang saling kejar dan deburnya yang menghunjam tidak akan terpisahkan.
“Gelombang itu cucuku, adalah sebagai simbol dari cobaan hidup, sedang debur yang menghunjam adalah sejauh mana kita memaknai cobaan tersebut? Sebab, sejatinya hidup adalah cobaan. baik itu menjadi orang kaya lebih-lebih ditaqdirkan menjadi orang miskin. Cobaannya orang kaya adalah sampai dimana bisa mengelola dan menyikapi kekayaan untuk tidak menyombongkan hartanya. Kalau cobaan orang miskin sudah jelas, yang pasti kesabaran dalam mengarungi hidup dan ketabahan menghadapi setiap masalah yang terlahir atas dasar menyambung hidup adalah menjadi perjuangan tersendiri” pikiranku terseret pada wajah nenekku yang senantiasa mengajari tentang kehidupan dan maknanya yang terpendam.
@@@

Dua hari sudah berlalu, sementara mayat Sahruji masih belum juga di temukan, sabtu sudah mulai beranjak menutup hari, orang-orang yang hidup di pinggir laut mulai berkemas untuk berangkat menjala ikan. Pekerjaan yang diharapkan menjadi tali untuk menyambung hidup.   Matahari layaknya bulat kuning telur di arah barat, burung-burung berebut reranting pohon beringin samping gubuk, tempatku berdiam lama mengenang cerita dan wajah nenek yang selalu mengelus kepala menjelang aku tidur. Kambang Layar  dari kejauhan mulai nampak jelas di pelupuk mata, sementara deru mesin mendesing pekakkan telingaku. Yah! Deru mesin yang mau berlayar menerjang ombak dan nantinya di harapkan pulang membawa separahu ikan. Orang pinggir laut menyebutnya sebagai salerek.[iii]
Dari arah laut, terdengar teriakan yang parau. Aku coba berdiri mencari sumber suara teriakan itu. Kakiku melangkah ke batas air berhenti megalir, ternyata teriakan itu semakin jelas. “Sahruji… Sahruji… mayat Sahruji” kontan aku berlari menuju sumber suara itu. Ternyata benar adanya, tidak jauh aku melawan arus, terlihat mayat Sahruji yang sudah membengkak mengambang digiring ombak ketepian. “Innalillah” desahku lirih sungguh engkau maha kuasa Tuhan. Orang kampung berduyun datang untuk menyaksikan tragedi tersebut. Ada yang sambil menutup hidung dan tak tidak sedikit yang menangis. Tapi sangat aneh, tidak seorangpun yang berani menyentuhnya. Mayat itu terus mengambang dengan telungkup, layaknya orang bersujud ketika shalat, warna kulitnya sangat putih, mungkin darah yang mengalir di sekujur tubuhnya sudah habis.
Tepian pantai semakin sesak dengan pengunjung. Bahkan sebagian nelayan yang masih belum berlayar mengurungkan niatnya untuk menjala ikan, suara tangis kala itu mulai redah serupa suara aliran ombak yang menepi ke dasar pantai. Tapi sangat disayangkan  sampai hari menjadi gelap tidak satupun yang berani menyentuh apalagi memboyong mayat Sahruji kedaratan. Semua yang ada ditempat tersebut takut dijadikan saksi ketika harus berhubungan dengan pihak kepolisian. Namun, akhirnya dengan sangat terpaksa bercampur rasa takut dan kasihan, aku  memberanikan diri membopongnya kedaratan.
Adzan isyak berkumandang, mayat Sahruji sudah selesai dimandikan dan karena Sahruji sudah tidak punya kerabat lagi maka mayat Sahruji menjadi tanggung jawab masyarakat, dan konklusi yang didapatkan dari urung rembuk masyarakat waktu itu adalah mayat Sahruji  mau dikuburkan malam itu juga, alasannya karena mayat Sahruji sudah membengkak nyaris tak berdarah. Dan sekitar jam sembilan pemakaman mayat Sahruji sudah selesai, semua warga yang ikut ke pemakaman berbondong untuk pulang kerumahnya masing-masing. Tentunya dengan membawa rasa pedih yang mendalam dalam hati masing-masing.
@@@

Sehabis pemakaman itu, hatiku nelangsa tiada tara. Seakan sosok Sahruji yang selama ini kukenal orang baik mempunyai nasib buruk. Yaitu, mati di laut dengan sangat mengenaskan dan mengerikan. Sungguh nasib seseorang tidak bisa ditebak, sulit diterka. Dengan demikian dalam hatiku kemudian timbul keyakinan bahwa mati adalah hak priorigatif Tuhan dan kematian tidak bisa ditunda dan diundur sedetikpun. Dan mulai saat itu aku memutuskan bahwa laut adalah tempat yang nyaman untuk aku berfikir bebas mengenai hidup, alam dan Tuhan. Laut adalah perlambangan dari bahrajal mahraini yang pernah disinyalir oleh sufi besar Ibnu Arabi mengenai kesejatian jiwa. Demikian juga dengan memahami laut beserta semua yang ada didalamnya, manusia akan sampai pada alam hakikat sehingga mengerti apa sebenarnya tujuan hidup ini.


[i] Adalah perahu kecil yang terbuat dari kayu yang berbentuk balok, biasanya perahu kecil ini digunakan untuk menjala ikan. Dan menggunakan layar untuk menggerakkannya.
[ii]  Yang berarti “Berbantal ombak, berselimutkan angin”.
[iii]  Adalah perahu besar yang digunakan untuk menjala ikan dilautan lepas, perahu ini biasanya mempunyai dua alat penggerak “mesin”, yaitu terletak di depan dan di belakang. Terlepas dari semua itu, perahu ini bisa dikata perahu yang tahan akan terjangan gelombang.

0 komentar:

Posting Komentar