Hidup adalah upaya untuk mencari nilai akhir

Larangan Menikah Lebih dari 4; Sebuah Telaah Kritis Melalui Pendekatan Tafsir Tahlili

♠ Oleh Roesly. Kh | | 20.48
Abstraksi
Annikahu sunnati faman raghiba an sunnati falaisa minni” hadis ini, sekurang-kurangnya menjadi landasan bagi setiap orang muslim untuk melakukan pernikahan. Sejatinya, pernikahan diharapkan menjadi media untuk melanjutkan keberlangsungan hidup manusia di bumi. Artinya, pernikahan seolah-olah menjadi kebuAllah primer bagi manusia untuk menyalurkan hasrat yang merupakan fitrah kemanuisan. Yang dapat meminimalisir terjadinya perbuatan amoral yang disebabkan oleh hausnya manusia akan kebuAllah biologisnya.[1]
Sehingga tidak salah kemudian pernyataan Muhammad Ismail (2008), pernikahan adalah sebentuk batu loncatan untuk meneruskan laju kehidupan manusia sebagai khalifah fil ard.[2] Pernikahan dimaksudkan sebagai media utama dalam melakukan reproduksi sebagai upaya mempersiapkan para penerus kehidupan ditahun yang akan mendatang. Sebab sudah menjadi hal yang tidak bisa dipungkiri lagi, peran manusia sebagai penerus keberlangsungan hidup di muka bumi ini bukan hal yang nihil, akan tetapi hal itu menjadi kesadarn bersama. Sehingga pernikahan menjadi pilihan tepat bagi manusia.
Terlepas dari itu, pernikahan bukan lantas menjadi hal yang gampang dilaksanakan oleh setiap orang. Akan tetapi pernikahan juga memerlukan pertimbangan matang bagi terciptanya regenerasi selanjutnya. Dalam hal ini, sering kali dipahami dari sisi fisikli dan kesiapan materi yang dianggap sebagai sesuatu yang fundamental dalam pernikahan terkait nafkah dan kebuAllah hidup bagi keberlangsungan hidup pasca pernikahan.
Padahal sejatinya tidak demikian. Akan tetapi, pertimbangan yang matang diatas adalah lebih terfokus pada kematangan psikis dalam menata mental terkait dengan problema yang banyak dalam keluarga. Hal ini, diharapkan menjadi benteng kuat untuk mengantisipasi keretakan rumah tangga yang bermuara pada ‘cerai’. Sebab disadari atau tidak, perceraian dalam sebuah pernikahan merupakan hal yang sangat dibenci oleh Allah.
Akan lebih menarik kemudian, ketika ada larangan menikah lebih dari empat. Realitas ini banyak mengundang pertanyaan kritis terkait dengan pernikahan yaitu, mengapa dilarang padahal nabi beristri Sembilan? Nah, dengan ini sekurang-kurang tafsir tahlili tepat dijadikan batu loncatan untuk mendapatkan jawaban tersebut diatas.
Untuk hal itu, peran hadis juga cukup urgen dalam menemukan kejelasan guna mendapat jawaban yang diharapkan. Namun, menjadi persoalan kemudian adalah tidak ditemukannya hadis yang menjelaskan tentang larangan menikah lebih dari empat. Akan tetapi dalam al-Quran terdapat batasan-batasan tertentu mengenai pernikahan.

Analisis terhadap hadis
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى الصَّنْعَانِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا خَالِدٌ وَهُوَ ابْنُ الْحَارِثِ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ عَوْنٍ عَنْ الشَّعْبِيِّ قَالَ سَمِعْتُ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ قَالَ
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَاللَّهِ لَا أَسْمَعُ بَعْدَهُ أَحَدًا يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ الْحَلَالَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَإِنَّ بَيْنَ ذَلِكَ أُمُورًا مُشْتَبِهَاتٍ وَرُبَّمَا قَالَ وَإِنَّ بَيْنَ ذَلِكَ أُمُورًا مُشْتَبِهَةً قَالَ وَسَأَضْرِبُ لَكُمْ فِي ذَلِكَ مَثَلًا إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ حَمَى حِمًى وَإِنَّ حِمَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مَا حَرَّمَ وَإِنَّهُ مَنْ يَرْتَعُ حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يُخَالِطَ الْحِمَى وَرُبَّمَا قَالَ إِنَّهُ مَنْ يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يُرْتِعَ فِيهِ وَإِنَّ مَنْ يُخَالِطُ الرِّيبَةَ يُوشِكُ أَنْ يَجْسُرَ
Telah mengabarkan kepada kami [Muhammad bin Abdul A'la Ash Shan'ani], ia berkata; telah menceritakan kepada kami [Khalid yaitu Ibnu Al Harits], ia berkata; telah menceritakan kepada kami [Ibnu 'Aun] dari [Asy Sya'bi], ia berkata; saya mendengar [An Nu'man bin Basyir], ia berkata; saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, demi Allah saya tidak mendengar seorangpun setelahnya, ia berkata; saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Dan diantara hal itu terdapat perkara-perkara yang tidak jelas dan akan saya berikan permisalan kepadamu dalam hal tersebut; sesungguhnya alla 'azza wajalla telah membuat daerah larangan dan sesungguhnya daerah larangan Allah 'azza wajalla adalah apa yang Dia haramkan. Sesunggunya orang yang menggembala di sekitar daerah larangan akan memasuki daerah larangan." Dan terkadang beliau bersabda: "Barang siapa yang menggembala di sekitar daerah larangan akan menggembala di dalamnya, dan orang yang memasuki sesuatu yang meragukan maka ia akan menyeberanginya."[3]
Ditinjau dari segi sanad hadis ini cukup kuat dan bisa dikatakan berpengaruh besar dalam pengambilan keputusan guna terciptanya kebijakan yang tidak keluar dari koridor agama. Sanad Hadis ini lebih condong pada hadis marfu’ sebab mayoritas kitab sunan bersanad marfu’. Toh, kerap kali ditemukan juga yang bersanad dhaif, hasan dan mungkar[4]
Rijalul Hadis:
, لصَّنْعَانِيُّ لْأَعْلَى عَبْدِ بْنُ مُحَمَّدُ,خَالِدٌ وَهُوَ ابْنُ الْحَارِثِ,ابْنُ عَوْنٍ,لشَّعْبِيِّ,النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ,
Matan hadis:
وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ الْحَلَالَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَإِنَّ بَيْنَ ذَلِكَ أُمُورًا مُشْتَبِهَاتٍ وَرُبَّمَا قَالَ وَإِنَّ بَيْنَ ذَلِكَ أُمُورًا مُشْتَبِهَةً قَالَ وَسَأَضْرِبُ لَكُمْ فِي ذَلِكَ مَثَلًا إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ حَمَى حِمًى وَإِنَّ حِمَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مَا حَرَّمَ وَإِنَّهُ مَنْ يَرْتَعُ حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يُخَالِطَ الْحِمَى وَرُبَّمَا قَالَ إِنَّهُ مَنْ يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يُرْتِعَ فِيهِ وَإِنَّ مَنْ يُخَالِطُ الرِّيبَةَ يُوشِكُ أَنْ يَجْسُرَ
Perawi dari hadis ini adalah Imam Nasa’ie, jadi jika dilihat dari sisi ilmu musthalah hadis, hadis ini adalah masuk dalam kategori hadis marfu’ yang juga cukup kuat untuk dijadikan landasan bagi sebuah permasalan terkait dengan ibadah ukhrawi. Sehingga pada gilirannya kemudian nampak menghadirkan kesadaran bagi manusia akan peranan hadis sebagai penopang al-Quran sebagai pegangan dan landasan dalam menjalani kehidupan.
Berangkat dari matan hadis diatas sekurang-kurangnya akan didapatkan sebuah pemahan mengenai larangan dan perintah. Alih-alih mengenai persoalan  pernikahan, lebih spesifik lagi larangan menikah lebih dari 4 ketika dibneturkan dengan ayat al-Quran (QS: An-Nisa’ 3) yang artinya, “dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan (yatim) maka nikahilah yang kamu senangi dari wanita-wanita lain: dua, tiga, atau empat. Lalu jika kamu tiakut tidak akan berlaku adil, maka seorang saja atau hamba sahaya wanita yang kamu muliki. Yang demikian itu lebih dekat kepada tidak berbuat aniya.[5]

Pendekatan dengan tafsir tahlili
Al-Quran adalah mukjizat terbesar nabi, yang sarat akan makna dan dari segi bahasa mempunyai nilai santra tinggi. Sehingga tidak heran kemudian jika al-Quran tidak ada yang bisa menandinginya. Disamping juga mempunyai kekuatan dahsyat yang mampu memberi daya pikat tersendiri bagi yang mendengarnya. Contoh kasus, Umar bin Khattab masuk Islam karena kekuatan al-Quran yang bersamaan dengan hidayah Allah.
Lebih dari itu, ayat al-Quran yang masih mujma­l­-global- memberi pengaruh besar bagi terciptanya perkembangan disimplin ilmu pengetahuan. Artinya, keemujmalan al-Quran yang cenderung multi tafsir memberi ruang bagi umat manusia untuk  berpikir dan senantiasa mengelaorasi nilai-nilai kehidupan yang tersirat dalam al-Quran. Sehingga al-Quran bersifat dinamis dan selalu relevan dengan perkembangan zaman.
Terlepas dari itu semua, al-Quran mengundang umat manusia untuk merasa terpanggil sekaligus menafsiri al-Quran itu sendiri. Dengan hal ini, kemudian bermunculan tafsir-tafsir mengenai ayat al-Quran. Sebut saja misalnya, tafsir tahlili, tafsir maudhui untuk sekedar mewakili macam-macam tafsir al-Quran.
Dalam persoalam ini penulis lebih condong memilih tafsir tahlili untuk menganalisisnya. Sebab pada dasarnya, tafsir tahlili adalah tafsir yang melibatkan peran aql (nalar) dengan naql (transferensial) juga melibatkan hermeneutika dalam melakukan analisa terhadap ayat al-Quran yang akan menjadi objek penafsiran.
Namun, pada prinsipnya tafsir tahlili lebih cenderung merelevansikan al-Quran melalui tahapan-tahapan pemikiran yang dikorelasikan dengan konteks. Dan menjadi sangat dinamis kemudian, tanpa mengebiri pemahaman terhadap al-Quran sebatas tekstual. Jadi dalam melakukan penafsiran secara tahlili seakan ayat al-Quran menjadi janin dari realitas yang terlahir dari suasan lingkungan dan zaman yang berlaku.[6]
Alih-alih berbicara masalah larangan menikah lebih dari 4 sebagaimana yang telah disinggung diatas dengan mengambil landasan (QS: An-Nisa’ 3), maka dapat dijelaskan secara lebih terperinci. Artinya, dua, tiga atau empat, pada hakikatnya dalam rangka tuntutan pada anak yatim. Namun, seolah-olah redaksi ayat ini menganjurkan poligami bahkan emapt sekalipun.
Penting untuk digaris bawahi, ayat ini bukan lantas mewajibkan poligami atau menganjurkannya. Ia hanya berbicara tentang bolehnya poligami dan itupun merupakan pintu kecil yang boleh dilalui oleh orang yang amat membutuhkan dan dengan syarat yang tidak ringan[7].
Misalnya istrinya mandul dan tidak mampu mewujudkan cita-cita akan hadirnya dambaan hati yang diharapkan menjadi penerus di hari yang akan mendatang, atau sang istri tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan biologis sebab adanya cacat tertentu terkait penyakit yang dideritanya. Maka poligami menjadi alternative yang tepat dan menjadi hal yang dibenarkan oleh agama.
Namun, sekali lagi perlu diingat bahwa ni bukan berarti anjuran, apalagi berarti kewajiban. Seandainya ia merupakan anjuran pastilah Allah menciptakan wanita lebih banyak empat kali lipat dari jumlah lelaki, karena tidak arti anda, apalagi Allah menganjurkan sesuatu, kalau apa yang dianjurkan tidak tersedia. Ayat ini hanya memberi wadah bagi mereka yang menginginkan, ketika menghadapi kondisi atau kasus tertentu, seperti yang dikemukakan contoh diatas.
Kita tidak dapat membenarkan siapa berkat bahwa poligami adalah anjuran apalgi bahkan sampai empat dikatakn anjugran pula, dengan alasan bahwa perintah diatas dengan dimulai dari  dua, tiga, atau empat, baru kemudian khawatir tidak adil maka “nikahilah satu saja”dengan alasan yang dikemukakan diatas, terlihat tidak cocok baik dari segi redaksi ayat maupun dari segi kenyataan sosiologis di mana perbandingan populasi perempuan dengan populasi laki-laki yang tidak mencapai empat banding satu bahkan dua banding satu.

Bagaimana dengan nabi yang beristri sembilan?
Dari beberapa penjelasan mengenai ayat yang telah dikemukakan diatas maka akan mengundang pertanyaan, kurang lebihnya seperti ini, bagaimana dengan nabi yang bukan hanya beristri empat melainkan sampai sembilan? Pertanyaan ini menjadi cukup kritis, akan tetapi ketika dihadapkan dengan tujuan nabi yang beristri sampai 9. Seakan terjawab dengan sendirinya.
Artinya,  tidak dapat dikatakan nabi nikah lebih dari satu bahkan lebih dari empat, pernikahan semacam itu hendaknya diteladani, karena tidak semua apa yang dikerjakan rasul perlu diteladani, demikian juga yang wajib dan yang terlarang bagi beliau, wajib dan terlarang pada umatnya. Bukankah nabi wajib bershalat malam dan tidak boleh menerima zakat? Apakah mereka yang menyatakan benar-benar ingain meneladani nabi dalam pernikahan? 
Kalau benar demikian, maka perlu mereka sadari bahwa semua wanita yang ia nikahi, kecuali Aisya adalah janda-janda dan kesemuanya untuk tujuan menyukseskan dakwah, atau membantu dan menyelamatkan para wanita yang kehilangan suami itu serta pada umumnya bukanlah wanita-wanita yang dikenal memiliki daya tarik yang memikat.
Huriyah binti al-Haris adalah putrid kepala suku dan termasuk salah satu seorang yang ditawan. Nabi menikahinya, sambil memerdekakannya, dengan harapan kaum muslimin mau membebaskan para tawanan yang mereka tawan, dan hasilnya seperti yang diharapkan dan semua pada akhirnya memeluk islam. huriyah sendiri memilih untuk menetap bersama nabi dan enggan kembali bersama ayahnya. Ini untuk memberikan contoh dari banyak misi nabi dalam kenyataannya mengenai tingkah laku nabi terkait beristri sampai sembilan.
Nah, dengan hadirnya sosok Huriyah binti al-Haris sudah jelas bahwa, nabi beristri sampai Sembilan menjadi jawaban tersendiri bagi pertanyaan yang dikemukakan diatas. Dan sebabnya tidak salah kemudian jika sagatlah kering akan analis dan data-data histori terhadap klaiman para orientalis terkait karikator yang mengklaim bahwa nabi gila perempuan dan memiliki daya seks tinggi. Fenomena ini  sempat menyulut api amarah kaum muslim sedunia.
Namun, yang terpenting dari semua itu adalah bentuk afirmasi terhadap larangan nikah lebih dari empat. Tentunya dalam hal ini, melalui banyak pertimbangan. Yang lebih dominan adalah masalah keadilan seorang suami dalam memperlakukan istri-istrinya. Karena menjadi kodrat manusia hal yang baru cenderung mendapat perhatian lebih dari pada hal yang sudah lama. Demikian juga dengan problema istri.
Simpulnya, larangan menikah lebih dari empat tidak bisa semena-mena dihubungkan dengan realitas nabi yang beristri Sembilan. Sebab pernikahan nabi tidak mengacu pada hasrat untuk menyalurkan kebutuhan biologis, akan tetapi lebih pada ruang kemaslahatan umatnya, juga sebagai upaya membantu terhadap janda-janda yang ditinggal mati dalam berperang oleh suami-suaminya.



Daftar Pustaka

Hanafi, Hasan 2007, Dirasah Islamiyah (terj. Miftah Faqih), Islamologi, dari Teologi Statis ke Anarkis. Yogyakarta: LKiS
Shihab, M. Quraish, 2007, Tafsir Al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati
Ismail, Muhammad, dkk. 2008, The Spirit of Love, Rahsia bagaimana Cinta Membuat Hidup Lebih Produktif. Purwokerto: LPM Obsesi.
Suryadilaga, M. Al-Fatih, Dr. dkk, 2010, Ulumul Hadis. Yogyakarta: Penerbit Teras
http/www.lidwa.com,


[1] Drs. H. Muzairi, Eksistensialisme Jean Paul Sartre, Sumur Tanpa Dasar Kebebasan Manusia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002),hlm. 55
[2] Muhammad Ismail, dkk. The Spirit of Love, Rahasia Bagaimana Cinta Membangun Hidup Lebih Produktif ,(Purwokerto: LPM Obsesi, 2008), hlm. 44
[3] Lihat kitab Sunan Nasa’ie , larangan menikah lebih dari 4 dalam www. Lidwa.com, diakses pada tanggal 3 Februari 2011
[4] Dr. M. Al-Fatih Suryadilaga, dkk. Ulumul Hadis,(Yogyakarta: Penerbit Teras, 2010), hlm. 213-214
[5] Quraisy Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran  jilid 2, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), hlm. 338
[6] Hasan Hanafi, Dirasah Islamiyah, (terj. Miftah Faqih)Islamologi, dari Teologi Statis ke Anarkis (Yogyakarta: LKiS, 2003), hlm. 74
[7] Ibid, hlm. 342

0 komentar:

Posting Komentar