Hidup adalah upaya untuk mencari nilai akhir

Mahasiswa Vs Dunia Karier

♠ Oleh Roesly. Kh | | 19.44
Dunia pendidikan selalu menjadi sesuatu yang menarik untuk diperbincangkan. Terlebih pendidikan di perguruan tinggi. Sejatinya, pendidikan diharapkan menjadi sarana transformatif untuk menanggulangi kebodohan sosial. Namun, akhir-akhir ini, terjadi pergeseran paradigma (sifting paradigm) dalam tubuh
pendidikan. Yaitu, dunia pendidikan diorentasikan untuk mencetak tenaga kerja guna kepentingan industri dan menyiapkan pegawai negri sipil.
Disadari atau tidak, paradigma ini, telah mampu memberi beban mental terhadap mahasiswa. Bagaimana tidak! Pendidikan yang telah diorentasikan pada dunia kerja, menimbulkan buah pikiran di benak mahasiswa sekaligus menimbulkan pertanyaan; apa yang harus kukerjakan setelah lulus? Pertanyaan yang seakan sepele ini, mengundang lunturnya niat, yang semula belajar untuk menghilangkan kebodohan, menjadi sebuah batu loncatan untuk mendapatkan kerja. Ironis bukan?
Dari pada itu, Yudhistira Anm Massardi menulis, sekitar 750.000 lulusan Diploma dan Sarjana menjadi pengangguran (Kompas 08/04/2011). Realitas ini, menjadi momok bagi mahasiswa dan menorehkan ketakutan akan mengalami nasib yang sama. Atau bahkan, menambah koleksi pengangguran di negri yang minim lapangan kerja ini. Sehingga tidak heran kemudian, banyak ditemui mahasiswa yang stres dan frustasi dalam menempuh pendidikan. Dampaknya, adalah terhadap pembentukan karakter mahasiswa yang cenderung hedonisme dan terjerumus pada arus jeram modernisme.
Nah, hal ini adalah menjadi tanggung jawab bersama, yang menuntut upaya penyelesaian secepatnya. Tentunya tidak semudah mengedipkan mata dalam menanggulangi masalah tersebut. Namun, sekurang-kurangnya ada tiga tawaran untuk menyiasati problem yang kadung menjadi paradigma ini.
Pertama, menata ulang niat belajar. Niat adalah mahluk aneh dalam hati, yang sangat mampu memberi kekuatan tersendiri dalam melakukan segala perkara. Dari pengertian ini, sangat relevan kemudian, atau bahkan sudah saatnya, kita yang niat semula belajar untuk kerja, harus dirubah menjadi upaya menghilangkan kebodohan. Sebab ketika diorentasikan pada kerja, maka otomatis akan cenderung mengejar nilai. Ketika orentasinya nilai, maka akan menghalalkan segala cara. Parahnya, memakai paham instanisme.
Kedua, pendampingan guru. Diyakini atau tidak, guru merupakan elemen terpenting dalam dunia pendidikan. Dalam hal ini, guru yang dimaksud, adalah guru yang mencurahkan perhatian penuh terhadap anak didiknya. Bukan semata guru yang sekedar formalitas. Artinya guru yang sibuk dengan urusannya sendiri. Sebab kerap didapatkan banyak guru yang bekerja ‘sambilan’-rangkap profesi. Sehingga lupa terhadap profesi yang semula; sebagai guru. Konsekwensinya, anak didik terabaikan.
Ketiga,  motivasi orang tua. Mayoritas mahasiswa merasa mempunyai tanggung jawab moral terhadap orang tua yang telah membiayainya. Nah, berangkat dari ini, tidak salah kemudian, jika dikatakan bahwa motivasi orang tua menjadi sumber mata air yang menyirami benih-benih kesadaran belajar mahasiswa.
Terlepas dari semua itu, introspeksi behavior mahasiswa juga mendukung bagi terciptanya karier yang dicita-citakan. Artinya, budaya konsumerisme, hedonisme dikalangan mahasiswa harus segera diakhiri. Dan alangkah baiknya, mahasiswa mencurahkan sepenuh hati pada kegiatan yang mendukung terhadap dunia akademik, juga memupuk intelektualitas sejak dini, sebagai upaya menyongsong masa depan karier yang gilang gemilang. Sebab sejatinya, karier tidak dibentuk dengan kuantitas keilmuan kita, akan tetapi kualitas keilmuan yang menentukannya.

1 komentar:

Posting Komentar