Hidup adalah upaya untuk mencari nilai akhir

Memahami Hukuman mati di Indonesia

♠ Oleh Roesly. Kh | | 20.56
BAB I
PENDAHULUAN

A . Latar Belakang Masalah

Akhir-akhir ini kerap didapatkan isu mengenai hukuman mati bagi orang yang dipanndang sudah keterlaluan dalam melakukan pelanggaran. Pelanggaran yang merugikan orang banyak. Hal ini bukan menjadi hal yang tabu lagi untuk dibicarakan. Akan tetapi menajadi bidikan media untuk di publikkan pada masyarakat luas. Hal ini, misalnya terbukti pada tahun 2005, setidaknya 2.148 orang dieksekusi di 22 negara, termasuk Indonesia. Dari data tersebut 94% praktek hukuman mati hanya dilakukan di empat negara: Iran, Tiongkok, Saudi Arabia, dan Amerika Serikat.
Beberapa saat yang lalu pun, beberapa tersangka yang telah terbukti sebagai pelaku pemboman di Bali dieksekusi mati sebagai hukuman atas tindakannya. Ini merupakan satu peristiwa yang menjadi salah satu contoh kasus hukuman mati yang menjadi perbincangan oleh kalangan yang mendukung adanya hukuman mati dan yang menolak adanya hukuman mati. Orang-orang tersebut, masing-masing memiliki alasan yang diyakininya kuat.
Hingga Juni 2006 hanya 68 negara yang masih menerapkan praktek hukuman mati, termasuk Indonesia, dan lebih dari setengah negara-negara di dunia telah menghapuskan praktek hukuman mati. Ada 88 negara yang telah menghapuskan hukuman mati untuk seluruh kategori kejahatan, 11 negara menghapuskan hukuman mati untuk kategori kejahatan pidana biasa, 30 negara negara malakukan moratorium (de facto) hukuman mati, dan total 129 negara yang melakukan abolisi (penghapusan) terhadap hukuman mati.
Pro dan kontra tentang hukuman mati ini terus berlanjut hingga sekarang.  tidak hanya terjadi di dunia sekuler, di dalam kekristenan pun hal ini sering menjadi pertanyaan, khususnya bagi orang-orang awam. Apakah pemerintah memiliki otoritas untuk melakukannya sedangkan Tuhan yang berhak mencabut nyawa seseorang? Ini adalah salah satu pertanyaan dari sekian banyak pertanyaan yang ditujukan pada tindak hukuman mati. Khususnya penulis teringat akan pertanyaan seorang remaja yang mengatakan apakah tidak berdosa melakukan hukuman mati bagi mereka yang tersangka melakukan kejahatan?


B. Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang di atas, untuk mempermudah pembahasan dalam makalah ini, dan membatasi pembahasan, sebagai bentuk upaya tidak melebar dan “ngalor-ngidul” dan focus pada pembahasan yang nantinya diharapkan titik temu, maka dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.      Bagaiamana tipologi hukuman mati di Indonesia? Beserta historisnya?
2.      Bagaimana menyoroti hukuman mati jika di benturkan dengan bingkai ke Bhinneka Tunggal Ika?
3.      Bagaimana hukuman mati dalam ruang lingkup agama?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini, secara kuantitatif adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah materi Kewarganegaraan. Sedangkan secara kualitatif lebih mengacu pada aktualisasi hukuman mati dan bagaimana menyikapinya. Untuk hal itu, ada beberapa hal yang cukup fundamental. Diantaranya,
1.      Mengetahui historitas hukuman mati dan bentuk-bentuk pelanggarannya.
2.      Memahami relevansi hukuman mati di Indonesia.
3.      Memahami hukum mati dalam perspektif agama.












BAB II
PEMBAHASAN

A. Memahami Makna Hukum
Hukum adalah undang-undang yang berlaku dalam sebuah institusi. Baik iitu institusi kecil atau besar. Namun secara tradisional hukum  lebih–lebih dipandang sebagai bersifat idiil atau etis. Bilamana pengertian hukum tradisional lebih-lebih bersifat idiil, pengertian hukum pada zaman modern (dari abad ke-15 sampai abad ke-20) lebih-lebih bersifat empiris, di mana telaan tidak lagi diletakkan pada hukum sebagai suatu tatanan ideal (hukum alam), melainkan pada hukum yang dibentuk manusia sendiri, baik itu raja maupun rakyat yaitu hukum positif, tata hukum negara dan dalam membentuk tata hukum makin bayak dipikirkan tentang fakta-fakta empiris, yakni kebudayaan bangsa dan situasi sosio-ekonomis masyarakat yang bersangkutan.
Selama abad pertengahan tolak ukur segala pikiran orang adalah kepercayaan bahwa aturan semesta alam telah ditetapkan oleh Tuhan. Hukum yang dibentuk mendapat akarnya dalam agama, atau secara langsung atau secara tidak langsung. Pengertian hukum yang berbeda ini ada konsekuensinya dalam pandangan terhadap hukum alam. Para tokoh kristiani cenderung untuk mempertahankan hukum alam sebagai norma hukum.
Pada umumnya terdapat pendapat bahwa pada penerapan hukum akan sangat ditentukan oleh manusia atau pada saat ini dikatakan sebagai sumber daya manusia; kedua, terletak pada lembaga yang melaksanakan sistem hukum; ketiga, menurut hemat saya, terutama bagi para sarjana hukum, adalah pertimbangan yang dibuat oleh hakim sebagai putusan pengadilan.
Banyak hal yang membuat ketidak-jelasan bahkan ketika suatu negara dikatakan sebagai negara hukum berarti hukum berlaku terhadap siapapun dan bukan hanya terhadap rakyat atau penduduk, tetapi juga terhadap mereka yang memiliki kekuasaan dan pejabat tidak boleh mengatur atau memaksa hukum yang berlaku.

B. Historitas Adanya Hukum
Pada dasarnya, historis hukum ini lahir dari pengalaman empiris manusia. Hal ini berawal mulai abad pertengahan yang terinspirasi dengan adanya intensitas suatu tatanan hukum ideal (hukum alam). Berangkat dari itu, manusia membentuk hukum sendiri sebagai upaya memebentuk tatanan baru dalam menempuh lajunya kehidupan yang tentram dan sesuai harapan.
Namun, dengan seiring berkembangnya ilmu pengetahuan, hukum juga mengalami perkembangan pesat. Terbukti misalnya, hukum dalam perspektif Filsafat. Hukum dalam persfektif Filsafat dapat dipetakan menjadi lima jenis. Pertama , Hukum abadi (lex aeterna): rencana Tuhan tentang aturan semesta alam. Artinya semua yang terjadi di dunia sudah ada yang mengatur. Kedua, Hukum ilahi positif (lex divina positiva): hukum Tuhan yang terkandung dalam wahyu agama, terutama mengenai prinsip-prinsip keadilan. Ketiga, Hukum alam (lex naturalis): hukum Tuhan sebagaimana nampak dalam aturan semesta alam melalui akal budi manusia. Keempat,  Hukum bangsa-bangsa (ius gentium): hukum yang diterima oleh semua atau kebanyakan bangsa. Terakhir, Hukum positif (lex humana positiva): hukum sebagaimana ditentukan oleh yang berkuasa; tata hukum negara.
Karena itu, pada dasarnya pengertian hukum tidak selalu sama dan terus berubah bersama berjalanya waktu dari zaman ke zaman. Sebab, disadari atau tidak hukum bukan harga mati yang tidak bisa di tawar. Akan tetapi saat ini, pemahaman hukum tidak bisa ditawar malah disalah artikan oleh orang-orang yang mempunyai kepentingan. Hal ini, dijadikan kesempatan untuk menjual hukum dan dijadikan untuk meraup uang sebanyak mungkin seperti yang tengah terjadi di Indonesia. Penegak hukum malah menggadaikan kelurusan hukum dengan kepentingan pribadinya, yakni uang. Dalam pihak lain penerapan kepastian hukum oleh pengadilan berdiri mandiri dan lepas dari kehendak pemerintah untuk menciptakan disiplin atau stabilitas nasional.

C. Hukum Mati di Indonesia
Bangsa Indonesia mengambil posisi sebagai negara hukum, namun sering kali tidak ada kepastian dengan hukum. Dalam keputusan suatu symposium mengenai negara Hukum pada tahun 1966 terdapat suatu kesimpulan bahwa: Sifat negara hukum itu ialah di mana alat perlengkapannya hanya dapat bertindak menurut dan terikat kepada aturan-aturan yang telah ditentukan lebih dahulu oleh alat-alat perlengkapan yag dikuasakan utuk mengadakan aturan itu atau singkatnya disebut prinsip “rule of law”.
Sedangkan konsep negara hukum bagi Indonesia adalah berdasarkan pancasila di mana di dalamnya terdapat hukum Tuhan, dan hukum etika.  Dan juga yang mana di dalam pancasila itu sendiri telah mencakup akan aturan hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama baik dalam hak asasi manusia, maupun keadilan.Paham negara hukum berbasis pada keyakinan banyak orang bahwa kekuasaan suatu pemerintahan negara harus dijalankan di atas dasar hukum yang baik dan yang adil.
Nah, dalam keberadaan Indonesia sebagai negara hukum, Indonesia berdiri berdasarkan hukum yang ada. Dalam pelaksanaannya sebagai negara hukum, banyak pro dan kontra ketika negara hukum ini berusaha menegakkan hukum dan menjatuhkan hukuman mati bagi terdakwa. Hukuman mati bukanlah sebuah hukuman yang diberikan kepada tersangka di mana tersangka pelaku kejahatan tersebut dihukum dengan dipenjara seumur hidupnya hingga mati. Batas hukuman mati adalah penghilangan nyawa seseorang yang telah melakukan kesalahan yang telah terbukti bersalah dengan keputusan pengadilan akan hukuman tersebut. Karena tidak semua kejahatan mendapat hukuman mati. Namun syarat dan kententuan seperti apa yang menyatakan seseorang harus dihukum mati.
Indonesia merupakan salah satu negara yang memberlakukan hukuman mati sebagai salah satu hukuman dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Walaupun amandemen kedua konstitusi UUD '45, pasal 28 ayat 1, menyebutkan: "Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun", tapi peraturan perundang-undangan dibawahnya tetap mencantumkan ancaman hukuman mati.
Yang menjadi alasan atas dilakukannya hukuman mati adalah pencegahan pembunuhan banyak orang di mana  hukuman mati ini memberi efek jera bagi orang-orang lain yang mengetahuinya dan khususnya hal ini tidak lagi terulang oleh orang yang sama.  Efek jera bukanlah cara yang paling bagus tetapi hukuman paling buruk yang mengarah kepada balas dendam  di mana terdapat motif preventif, yakni agar tidak terulang lagi karena takut akan hukuman. Namun cara ini pun tidak terlalu efektif dalam masyarakat yang miskin.
Selain itu dalam vonis hukuman mati, dapat terjadi kemungkinan kemungkinan kesalahan dalam menjatuhkan keputusan bersalah atau tidaknya terdakwa. Di mana orang yang telah dieksekusi bukanlah yang bersalah atau menjadi kambing hitam dari pelaku sesungguhnya. Kesalahan inilah yag harus dihindari dan menjadi kelemahan dalam vonis hukuman mati.
Oleh karena itu, dalam rangka menghindari kesalahan vonis mati terhadap terpidana mati, sedapat mungkin aparat hukum yang menangani kasus tersebut adalah aparat yang mempunyai pengetahuan luas dan sangat memadai, sehingga Sumber Daya Manusia yang disiapkan dalam rangka penegakan hukum dan keadilan adalah sejalan dengan tujuan hukum yang akan menjadi pedoman didalam pelaksanaannya, dengan kata lain khusus dalam penerapan vonis mati terhadap pidana mati tidak ada unsur politik yang dapat mempengaruhi dalam penegakan hukum dan keadilan dimaksud. Namun pada kenyataanya banyak hal yang dari luar yang mempengaruhi keputusan-keputusan pengadilan di mana bukan karena tidak adanya kejujuran melainkan karena campur tangan dari orang-orang berpengaruh di dalamnya.
Dalam catatan sejarah, banyak cara dalam merealisasikan hukuman mati. Misalnya Saudi Arabia yaitu, dengan cara pancung kepala. Berbeda yang diterapkan di Negara Mesir, Irak, Iran, Jepang, Yordania, Pakistan, Singapura. Negara-negara ini lebih ekstrim lagi yaitu dengan di gantung. Tiongkok, Somalia, Taiwan, Indonesia, Guatemala, Thailand, Amerika Serikat dalam hal ini lebih memilih di tembak. Berbeda lagi dengan Afganistan, lebih cenderung tekstualis memahami kehadiran syariah yakni dengan di rajam.

D. Hukum Mati dalam Perspektif Agama-Agama
Kelompok yang mendukung diadakannya hukuman mati beranggapan bahwa bukan hanya pembunuh saja yang memiliki hak untuk hidup dan tidak disiksa, maupun dianiaya. Masyarakat luas juga punya hak untuk hidup dan tidak disiksa. Untuk menjaga hak hidup masyarakat, maka pelanggaran terhadap hak tersebut patut dihukum mati.
Iskandar Susanto dalam artikelnya yang berjudul “Hukuman Mati: Suatu Tinjuaunan dari Perpektif Alkitab” mengatakan bahwa hukuman mati adalah retribusi yang mana sering dikacaukan dengan ide “pembalasan seseorang”. Pembalasan adalah keiginan yang kuat dari seseorag untuk melukai dan menyengsarahkan orang lain sebagai pukulan balik pada orang yang melukai dia. Yang mana biasanya dilandasi dengan kekejaman dan kemarahan.
Islam memandang hukuman mati sangat ramah. Yaitu tidak lantas menghakimi salah atau benar, akan tetapi lebih mengacu kepada kesalahan yang dilakukan oleh tersangka. Artinya jika seimbang dengan kesalahan yang dilakukan sangatlah sah melakukan hukuman mati. Sebaliknya Islam sangat menolak hukuman mati ketika tidak seimbang dengan kesalahan yang dilakukan oleh tersangka.
Ada dua fungsi hukuman dalam Islam. Yaitu jawazir: mencegah kejahatan yang lebih besar. Penerapan hukuman akan membawa, bahkan orang-orang yang lemah iman dan ketaqwaannya pun takut untuk melakukan kejahatan. Dengan demikian, ketentraman masyarakat akan terjaga. Kedua jawabir, penebus bagi pelaku. Artinya, dosa-dosa pelaku akan terampuni dan ia tidak akan dituntut lagi di akhirat.
Yang menjadi pangkal persoalan bagi kaum muslimin saat ini bukan dari sisi kepentingan hukuman mati namun bahwa mereka wajib menegakkan hukum-hukum Tuhan SWT dalam naungan khilafah Islamiyah, agar seluruh kewajiban umat Islam dapat terealisasikan.hukuman Mati. Kontra, di berbagai kesempatan selalu menyatakan penolakkan atas hukuman mati sebagai ekspresi hukuman paling kejam dan tidak manusiawi.
Berbeda dengan umat islam, banyak orang Kristen yang melihat kasus hukuman mati dari perpektif humanistik di mana mereka hanya melihat dari sisi kemanusiaannya saja. Namun ini bukan berarti kekristenan memandang hukuman mati secara humanistik. Mengingat Alkitab memiliki otoritas dalam kehidupan kekristenan, Alkitab pun patut berbicara tentang hukuman mati. Di dalam perjanjian lama dan perjanjian baru mencatat beberapa kasus hukuman mati.
Hal ini diafirmasi dalam perjanjian lama. Hukum Perjanjian Lama memerintahkan hukuman mati untuk berbagai perbuatan: pembunuhan (Keluaran 21:12), penculikan (Keluaran 21:16), hubungan seks dengan binatang (Keluaran 22:19), perzinahan (Imamat 20:10), homoseksualitas (Imamat 20:13), menjadi nabi palsu (Ulangan 13:5, pelacuran dan pemerkosaan (Ulangan 22:4) dan berbagai kejahatan lainnya.
Eka Darmaputra mengungkapkan paling sedikit ada sembilan kategori ”kejahatan besar” yang pelakunya dipandang patut dihukum mati dalam Perjanjian Lama, yaitu membunuh dengan sengaja, mengorbankan anak-anak untuk ritual keagamaan, bertindak sembrono sehingga mengakibatkan kematian orang lain,  melindungi hewan yang pernah menimbulkan korban jiwa manusia,  menjadi saksi palsu dalam perkara penting,  menculik,  mencaci atau melukai orang tua sendiri,  melakukan perbuatan amoral di bidang seksual,  serta melanggar akidah atau aturan agama.
Hukuman mati telah ditetapkan oleh Tuhan seperti yang tercantum pada kejadia 9:6: “Siapa yang menumpahkan darah manusia, darahnya akan tertumpah oleh manusia, sebab Tuhan membuat manusia itu menurut gambar-Nya sendiri”. Dan Yesus akan mendukung hukuman mati dalam kasus-kasus lain. Di mana Yesus juga menunjukkan anugerah ketika hukuman mati seharusnya dijatuhkan (Yohanes 8:1-11). Dari hal ini juga bisa dikatakan kode etik dalam Kristiani dalam memahami hukuman mati terkesan hanya pada ranah humanistik saja.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan pancasila namun dalam pelaksanaannya seringkali bukan hukum yang ditegakkan melainkan lebih kepada otoritas dari orang yang berpengaruh dalam negara. Indonesia memiliki hak untuk mencantumkan hukuman mati sebagai salah satu hukuman dalam KUHP, namun taggungjawab sebagai negara hukumlah yang penting untuk diperhatikan.Dalam kekristenan hukuman mati telah ada dan ditetapkan oleh Tuhan sendiri (Kejadian 9:6).
Sehingga tidak ada alasan untuk meolak diadakannya hukuman mati. Dalam sepanjang jalannya hukuman baik itu untuk orang yang bersalah maupun sesungguhnya tidak melakukan kesalahan namun menerima hukuman tersebut, segala sesuatunya tidak lepas dari ijin Tuhan.Tuhan telah memberi wewenang bagi pemerintah untuk melakukan kewajibannya dan menegakkan keadilan dalam negara, namun kehendak Tuhan akan terus berjalan. Rasul Paulus jelas mengakui kuasa dari pemerintah untuk menjatuhkan hukuman mati ketika dibutuhkan (Roma 13:1-5).
Tuhan tidak pernah lepas kontrol dalam segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia. Jika bagi orang sekuler, hukuman mati adalah efek jera, namun dalam kekristenan itu merupakan perintah Tuhan dalam usaha-Nya menunjukkan keadilan-Nya namun juga menunjukkan kasih-Nya.Kedatangan Kristus dan pengorbanan-Nya menggenapi hukum Taurat namun bukan berarti meniadakan hukum Taurat maupun hukuman mati yang telah ditetapkan-Nya. Verkuyl mengatakan: “sebagimana hukuman mati adalah tanda keadilan Tuhan yang menghukum, demikian pula kemungkinan grasi dan amnesty adalah tanda kasih karunia atau rahmat Tuhan.”



Daftar Pustaka
Ø  Huijbers, Theo. Filsafat Hukum. Yogjakarta: Kanisius.

Ø  Kusnadi, dkk. Pengantar Hukum Tata Negara. Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, Jakarta, 1976.


Ø  Limahelu, Frans. Penerapan Kepastian Hukum di Indonesia Menghadapi Dunia Interasional. Jurnal: Bina Darma “Negara Hukum”, No. 52, Th. 14, 1996.

Ø  Media Indonesia, 21 Maret 2005. Dalam Posisi Duduk, Astini Dieksekusi 12 Penembak


Ø  Soeropati, Djoko Oentoeng. Negara Hukum Indonesia dalam Teori dan Praktek. Jurnal: Bina Darma “Negara Hukum”, No. 52, Th. 14, 1996.

Ø  Verkuyl, J. Etika Kristen, Ras, Bangsa, Gereja da Negara. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1992.

0 komentar:

Posting Komentar