Hidup adalah upaya untuk mencari nilai akhir

Pudarnya Kredibilitas Mahasiswa

♠ Oleh Roesly. Kh | | 18.00
Belakangan ini, kepercayaan masyarakat terhadap peran dunia kampus dalam mencetak intelektual muda, yang mampu mengentas massifnya problema hidup mulai pupus. Pasalnya, berawal dari kekhawatiran akan minimnya kredibilitas civitas akademik yang kian merebak dan nyaris tidak dapat ditanggulangi. Civitas akademik lebih memilih hidonisme dan konsumerisme yang tengah menggurita, dan seolah-olah dua kata tersebut menjadi paham resmi bagi para kaula muda di era konseptual kini.
Fenomena ini, diperparah dengan kebijakan birokrat kampus yang dapat dikatakan tanpa pertimbangan dan bahkan terkesan “lucu”. Yaitu, dengan pembatasan akses belajar nyaman bagi terciptanya aktifitas civitas akademik. Hal ini diwujudkan dengan dibangunnya pagar-pagar, yang membatasi ruang gerak civitas akademik dalam berkreasi dan berekspresi.
 Birokrat kampus lebih memikirkan infrastruktur dari pada profesionalitas insan akademik sebagai pengemban agen sosial kontrol. Ia dengan pongahnya berdalih demi kenyamanan belajar. Yang menjadi pertanyaan di sini, haruskah pagar menjadi tolak ukur bagi terciptanya kondusifitas berlangsungnya proses belajar mengajar yang kemudian diharapkan bisa mencetak profesionalitas mahasiswa? Jawabnya pasti tidak!
Lantas kira-kira dengan apa semua itu akan terwujud? Sekurang-kurangnya dengan pelayanan yang mendukung, tanpa adanya kebijakan yang mengikat bagi kebebasan dalam berekspresi, di samping juga, tenaga pengajar handal yang mampu mengayomi benih potensi yang dimiliki oleh setiap mahasiswanya, dan bisa mendampingi secara baik. Sebab menurut Paulo Freire tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia. Bukan membudak mahasiswa dengan setumpuk makalah.
 Tetapi tidak bisa dipelak lagi, beginilah realitas dunia kampus saat ini. Yang cenderung dijadikan sarang petak umpet bagi orang-orang yang berkepentingan dan berparadigma kapitalis. Sedangkan dalam aspek kualitas keilmuannya di kesampingkan bahkan tidak pernah dipikirkan. Padahal, pada hakikatnya, kampus adalah tempat representatif untuk belajar dan mengelaborasikan ilmu pengetahuan. Namun, semua itu -saat ini- seakan telah menjadi hal yang tidak lagi relevan, akan tetapi kampus disulap menjadi ‘kebun binatang’

Elan vital
Kita harus sepakat, dan bisa menyadari, bahwa, belajar di dunia kampus adalah proses pengembangan. Ilmu yang telah didapatkan sebelumnya di bangku sekolahan (baca: SD, SMP, SMA). Hal ini membutuhkan kesabaran dalam menjalani proses juga fasilitas sangat mendukung bagi terciptanya kesempurnaan dan demi terwujudnya tujuan awal memilih satu universitas. Yang semua itu mayoritas diharapkan menjadi media untuk menghilangkan kebodohan dan mengembangkan potensi yang sudah menjadi kecenderungan pribadi.
Namun, sangat miris ketika dihadapkan dengan realitas yang terjadi saat ini, sebagaimana yang telah dikemukakan diatas. Dalam hal itu, sudah saatnya dunia kampus mengembalikan kepercayaan masyarakat yang sudah lama pudar. Apa kira-kira penyebab semua itu, tidak lain adalah kebijakan birokrat kampus yang cenderung berparadigma kapitalis. Salah satunya pagarisasi kampus, yang telah sepenuhnya memasung aktifitas civitas akademik. Contohnya, budaya diskusi, budaya belajar bersama di tempat-tempat teduh  di sekitar kampus.
Nah, dengan penyebab ini, tidak salah kemudian jika dunia kampus mengalami dekradasi kepercayaan masyarakat terkait kredibilitas mahasiswanya. Untuk ini, sekurang-kurangnya ada tiga upaya yang harus dilakukan. Pertama, dimulai dari life style civitas akademik. Gaya hidup civitas akademik belakangan ini yang cenderung hidonis dan konsumtif harus segera diakhiri, atu sekurang-kurangnya diminimalisir. Tentunya hal ini dengan menghadirkan kesadaran bahwa  deirinya sebagai agen perubahan.
Kedua, pergeseran paradigma (sifting paradigm) birokrat kampus dari paradigma kapitalis menuju paradigma sosial. Artinya kampus jangan lagi dijadikan lahan untuk merealisasikan aksi kapitalisme yang sepenuhnya salah. Realitas yang terjadi saat ini birokrat kampus memakai teori-meminjam bahasanya Pierre Bordio (1997)- “dominasi simbolik” yakni melakukan pembenaran terhadap paradigma yang dipakai bukan kebenaran sepenuhnya yang dijadikan landasan dalam merumuskan kebijakan.  
Ketiga, fungsionalisasi fasilitas kampus secara riil. Artinya, perpustakaan dan masjid yang juga menjadi korban pelampisan kebijakan paradigma kapitalis birokrat dan tidak disesuaikan dengan ruang operasinya yang umum, harus segera difungsikan. Dalam hal ini, Harvey Siegel (1895) pernah mensinyalir pemikiran kritis adalah arti penting dalam konsepsi dan pengaturan aktivitas pendidikan. Pertanyaannya apakah akan terbentuk sikap kritis mahasiswa jika selalu mengandalkan hasil bangku kuliah?.

0 komentar:

Posting Komentar