Hidup adalah upaya untuk mencari nilai akhir

Sepak Terjang dalam Teologi Islam

♠ Oleh Roesly. Kh | | 20.38
Sudah jamak diketahui, pasca wafatnya nabi Muhammad, aliran teologi dalam Islam cukup banyak dan beragam. Hal ini, tentunya tidak terlepas dari faktor politik dan kekuasaan. Pada waktu itu, kekuasaan menjadi oase di tengah gersangnya padang pasir yang diperebutkan. Sehingga dengan fenomena ini kemudian, politik mengambil peran guna mewujudkan keinginan untuk berkuasa bagi kabilah-kabilah kecil  dalam Islam.
Berawal dari sistem pemerintahan Usman bin Affan, kran aliran teologi dalam Islam mulai terbuka dan mengundang pertikaian. Khalifah  ketiga ini, terkesan koropsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Dari sistem inilah kemudian, timbul pemberontakan dari berbagai kabilah, yang pada gilirannya memicu lahirnya aliran-aliran teologi dalam Islam. Puncaknya pada tragedi pembunuhan Usman bin Affan oleh Ibnu Muljam, yang menyebabkan terjadinya penggantian Khalifah.
Setelah Usman Wafat, Ali bin Abi Thalib dinobatkan sebagai pengganti khalifah. Keadaan pilitik pada masa Ali ini, bisa dikata tambah runyam dan tambah banyak pemberontakan. Misalnya, dalam rekam sejarah disebutkan salah satu pemberontakan tersebut, dari Aisya istri nabi, Muawiyah ibn Sofyan. Yang semua itu mempunyai corak yang sama, yaitu kekuasaan[1]. Nah, pemberontakan ini, menimbulkan pecahnya perang siffin, yang pada gilirannya, menjadi rahim bagi lahirnya tragedi tahkim dan menjadi api penyulut bagi terciptanya aliran-aliran dalam Islam.

Madzab Syiah
Tragedi tahkim antara kelompok Ali dengan Muawiyah menyisakan keresahan mendalam bagi kaum muslimin. Hal ini, terbukti dari sebagian kelompok  yang mengkultuskan diri untuk keluar dari barisan Ali, yaitu yang dikenal dengan istilah Khawarij. Ada juga yang masih tetap setia untuk berdiam diri digaris barisan Ali; yang dikenal dengan kaum syiah.  Adapun yang menjadi problem mendasar waktu itu, adalah masalah keabsahan imamah atau pemimpin. 
Berangkat dari pernyataan diatas, Syiah bisa dipahami sebagai golongan yang setia atau mendukung terhadap keputusan Ali. Sepintas dipikir, tentunya kesetian ini, tidak terlahir secara kebutelan. Akan tetapi ada sebab yang melatar belakanginya. Menurut As-Syarastani[2] (548 H) menyebutkan bahwa kesetian kaum syiah terhadap Ali bin Abi Thalib dikarenakan luasnya pengetahuan Ali dalam berbagai disiplin Ilmu, bahkan nabi sekalipun menjuluki Ali sebagai ‘pintunya ilmu’. Disamping juga sebagai pemuda berani yang menggantikan tempat tidur Nabi ketika mau dibunuh oleh kafir quraisy.
Seputar pro dan kontra masalah imamah dalam tragedi arbitrasi, selalu menjadi perdebatan yang tak berujung. Akan tetapi, menariknya, adalah mengkaji sikap militansi kaum syiah dalam mempertahankan kepemimpinan Ali sebagai Khalifah terakhir pada waktu itu. Syiah berjuang mati-matian dalam mempertahankan Ali. Tentunya hal ini, tidak terlepas dari pandangan kaum syiahterhadap imamah. Kaum syiah berpandangan  bahwa imam yang syah adalah  ahl bait atau pemimpin yang masih mempunyai turanan darah dari nabi.
Akan tetapi, menjadi riskan kemudian, ketika dibenturkan dengan perbedaan pendapat, terkait jumlah imam yang syah di tubuh syiah sendiri. Ada yang berpendapat dua belas, tujuh, bahkan ada yang berpendapat lima imam yang dianggap syah. Artinya kaum syiah masih belum mempunyai patokan valid terhadap imam-imam yang syah secara teologis dan terkesan plinplan.
Terlepas dari semua itu, kecenderungan kaum syiah dalam masalah teologis lebih pada pemikiran ahlu sunnah wal jamaah, mu’tazilah dan tashbih; penyamaan Tuhan dengan mahluk. Sehingga dengan kecendrungan ini menyebabkan timbulnya sekte-sekte di tubuh syiah. Adapun sekte-sekte yang cukup berpengaruh ada lima sekte. Al-Kisaniyah, az-Zaidiyah, al-Imamiyah, al-Ghulat dan al-Ismailiyah. Namun, toh, terjadi sekte-sekte tidak ada perbedaan yang sangat mencolok dalam ajaran Syiah.

Syiah di Indonesia
Setelah melalui jalan terjal yang penuh tantangan, akhirnya syiah sampai di Indonesia dan bercokol di negri gemah ripa loh jinawi ini. Jejak Perjalanan kaum Syi'ah di negeri ini, semakin jelas khususnya dimulai ketika terjadi revolusi Iran yang mengantarkan ajaran atau tepatnya disebut dîn; agama Syi'ah untuk menguasai Iran sebagai agama penguasa setelah pemerintahan Reza Pahlevi runtuh. Setelah terjadi revolusi di Iran di penghujung tahun 1979, mereka mulai menyebarkan ajaran mereka keseluruh negeri Islam dengan mengatas-namakan dakwah Islam. Terutama ke negeri Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah kaum Muslimin. Ada tiga faktor yang menyebabkan Syi'ah mudah masuk ke Indonesia. Yaitu:[3]
Pertama, kaum Muslimin terbelakang dalam pemahaman terhadap aqidah Islam yang shahîhah (benar) yang berdasarkan al-Qur’ân dan Sunnah. Kedua, mayoritas kaum Muslimin pada saat itu sangat jauh dari manhaj Salafus Shalih. Mereka hanya sekedar mengenal nama yang agung ini, namun dari sisi pemahaman pengamalan dan dakwah jauh sekali dari pemahaman dan praktek Salaful Ummah (generasi terbaik umat Islam). Memang ada sebagian kaum Muslimin yang menyeru kepada al-Qur’ân dan Sunnah, tetapi menurut pemahaman masing-masing tanpa ada satu metode yang akan mengarahkan dan membawa mereka kepada pemahaman yang benar.
Ketiga, kebanyakan kaum Muslimin termasuk tokoh-tokoh muslim di negeri ini kurang paham atau tidak paham sama sekali tentang ajaran Syi'ah yang sangat berbahaya terhadap Islam dan kaum Muslimin, bahkan bagi seluruh umat manusia. Pemahaman mereka terhadap ajaran Syi'ah sebatas Syi'ah sebagai madzhab fiqh, sebagaimana madzhab-madzhab yang ada dalam Islam yang merupakan hasil ijtihad para ulama seperti Imam Syafi’i, Abu Hanîfah, Mâlik, dan Ahmad dan lain-lain. Mereka mengira perbedaan antara Syi’ah dengan madzhab yang lain hanya pada masalah khilafiyah furu’iyyah (perbedaan kecil).
Dengan tiga sebab ini, Syi’ah bisa masuk ke negeri ini dan mempengaruhi sebagian kaum muslimin. Mereka menamakan perjuangan mereka perjuangan islam untuk menegakan daulah islamiyah. Padahal pada hakekatnya untuk menegakan daulah rafidhah. Mereka hendak meyebarkan dan mendakwahkan ajaran mereka. Karena dalam pandangan mereka, tidak ada hukum Islam kecuali yang diambil dari ajaran ini dan ditegakkan oleh mereka. Khomaini, pemimpin mereka telah menulis beberapa kitab. Tiga diantara kitab-kitab ini menjelaskan dengan gamblang kepada kita tentang jati diri penulis dan para pengikutnya. Tiga kitab itu adalah, Kitab Hukumatul Islamiyah, Kitab Tahrirul Wasilah, Kitab Jihadun Nafs atau dengan judul Jihadul Akbar.
Dalam semua kitab ini, menunjukan betapa kuat kebencian dan dendamnya yang membara kepada para pembesar kaum Muslimin yaitu para Sahabat radhiallahu'anhum. Oleh karena itu, ketika mengetahui perkataan-perkataan Khomaini dalam ketiga kitabnya tersebut, sebagian tokoh kaum Muslimin berbalik dan menyadari bahwa apa yang disuarakan “Persatuan dan Kesatuan Umat Islam”, “Tidak ada perbedaan antara mereka kecuali masalah furu’ saja”, semuanya adalah kebohongan.

Ekstrimitas Syiah
Banyak sekali umat Islam yang terjebak dengan pemahaman bahwa Syiah termasuk dalam golongan Islam, padahal Syiah sendiri sudah melenceng atau menyeleweng dari ajaran Islam. Misalkan keyakinan dekonsruksi kedudukan da peranan para Sahabat Rasulullah SAW dalam membina umat, bagi Syiah, Sahabat- sahabat Nabi yang berjumlah kurang lebih 114 ribu Sahabat itu harus mnannggung dosa besar karena tidak memilih Ali RA setelah Nabi, juga keyakinan Syiah atas kekeliruan Mushaf Ustmani ketimbang Mushaf Ali. Shingga dalam kitab utama Syiah, Al -Kafi, mereka percaya AlQuran yang ada sekarang berkurang 2/3 bagian. karena sesungguhnya yang otentik itu 17ribu ayat.
Ironisnya, kaum syiah saat ini,  telah melakukan kesesatan mendasar[4]. Yaitu, terkait dengan masalah rukun iman. Rukun iman dikalangan syiah hanya memiliki 5 rukun Iman (Muhammad Ridha Mudzaffar, al-’Aqaidul Imamiyyah).  Tauhid (keesaan Allah),  al-’Adl (Keadilan Allah), Nubuwwah (Kenabian), Imamah (Kepemimpinan Imam), Ma’ad atau Hari kebangkitan dan pembalasan. Adapun rukun Islam dalam syiah mengacu pada pada kitab al-Kafi, Juz II, hal 18. Di sana, dijelaskan bahwa rukun islam terdiri dari, Shalat, Zakat, Puasa, Haji, Wilayah atau Perwalian.
Dari sini terlihat jelas, jika Syiah tidak mencantumkan Syahadatain dalam rukun Islam. Artinya syiah telah menafikan syahadatain, padahal, sudah menjadi kesepakatan bersama, bahwa syahadatain menjadi unsur utama dalam keberislaman seseorang. Maka dengan ini, kemudian timbul pertanyaan mendasar, apakah akan dikatakan islam ketika tidak pernah mengucapkan syahadatain? Lucunya, hal yang urgen tersebut di ganti dengan wilayah atau perwalian. Tentunya, dalam benak kita akan bertanya-tanya. Ada apa dengan wilayah dan perwalian?
Hal ini menjadi menarik jika dianllisis lebih lanjut. Jangan-jangan semua itu hanya sebagai sensasi atau sebagai batu loncatan untuk mewujudkan hasratnya dalam keinginan berkuasa. Sebab tidak bisa dipungkiri hasrat untuk berkuasa dalam jiwa manusia menjadi hal yang dominan yang cenderung menghalanlkan segala cara untuk mendapatkannya.
Terlepas dari itu, timbul nada-nada sumbang yang keluar dari mulut syiah, yang kemudian menjadi jargon. Misalkan jargon mengenai anti Amerika dan Israel yang selama ini digembar-gemborkan. Sebenarnya itu adalah kamuflase dari Iran, yang sekaligus menjadi tempat untuk mengatur strategi dan tumbuh berkembangnya ajaran syiah saat ini.


[1] Nuruzzaman Shiddiqi, Syi’ah dan Khawarij dalam Perspektif Sejarah (Yogyakarta: PLP2M, 1985), Hal. 36.
[2] Muhammad Abdul Karim Asy-Syahrastani,  Al-Milal wan-Nihal, (Beirut: Darul Fikr), hlm.  102
[3] Majalah As-Sunnah, Upaya menghidupkan Sunnah..
[4] lebih lanjut tentang bagaimana berhadap-hadapannya pemikiran Syi’ah baik dalam politik maupun agama, baca Nourouzzaman Shiddiqi, Syi’ah dan Khawarij dalam Perspektif Sejarah (Yogyakarta: PLP2M, 1985) terutama bagian penutup hal. 84 – 93..

0 komentar:

Posting Komentar