Hidup adalah upaya untuk mencari nilai akhir

Serat Wedhatama; Sebagai Kurasan Kitab Kehidupan Islam Priyayi Jawa

♠ Oleh Roesly. Kh | | 12.15
Secara garis besar, penyebaran Islam ke Nusantara dalam catatan sejarah dimulai  pada abad ke VII. Penyebaran ini dilakukan oleh para Gujarat Arab yang selain mebawa misi ekonomi ia sekaligus membawa misi agama, yaitu agama Islam. Agama yang pertama kali di bawa oleh nabi Muhammad dengan al-Quran dan al-Hadits sebagai landasan. Agama Islam yang terlahir bungsu dari agama-agama yang lain dan diyakini sebagai agama yang menyempurnakan ajaran-ajaran agama yang turun sebelumnya.
Namun sangat miris, misi Gujarat dalam menyebarluaskan agama tersebut tidak menuai hasil yang mengembirakan, akan tetapi kegagalan yang ia dapatkan. Artinya masyarakat nusantara tidak sepenuhnya menerima terhadap dogma yang ia bawa. Hal ini, disebabkan oleh pengaruh ajaran Hindu-Budha dalam membentuk kehidupan masyarakat Nusantara, yang tak luput dari corak dan kehidupan beragam. Yakni, dengan mendarah dagingnya kepercayaan animisme dan dinamisme di kehidupan masyarakatnya.
Pada abad ke XIII seiring runtuhnya kerajaan Majapahit, kembali ekspansi teologis dilakukan oleh para Gujarat. Namun, strategi penyebarannya berbeda dengan abad sebelumnya, yaitu dengan melalui singkretisasi, dengan mencampur adukkan antara nilai budaya dengan nilai agama.  Upaya ini yang akhirnya menuai hasil memuaskan dan bisa menarik perhatian masyarakat Nusantara khususnya masyarakat Jawa menerima agama yang ia bawa. Yakni agama islam yang disinyalir sebagai agama rahmat bagi semesta alam, dan agama yang bersikap ramah tanpa pandang strata social.
Hadirnya Islam ke Nusantara mulai melahirkan tiga variasi keberagamaan, Islam priyayi, santri dan islam abangan. Hal ini, tidak terlepas dari sejarah penyebaran dan faktor kepercayaan yang dianut masyarakat jawa waktu itu. Pengaruh hindu-budha cukup kental  dan kepercayaan terhadap animisme-dinamisme menjadi hal yang dominan dalam landasan bagi keberlangsungan hidup masyarakat jawa. [1]
Menariknya, dari masing-masing variasi Islam mempunyai karya besar yang berbeda pula. Realita ini menjadi sumbangan tersendiri bagi terciptanya khazanah intelektual sekaligus sebagai landasan dalan menjalani hidup dari masing-masing variatif Islam jawa[2]. Sebut saja, Mujarabat sebagai karya islam santri, Serat Wedhatama sebagai karya islam priyayi dan Serat Kandha. Namun, dalam tulisan ini saya lebih fokus membahas tentang Serat Wedhatama.

Serat Wedhatama
Serat Wedhatama adalah buah tangan Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunagoro IV.  Akan tetapi lebih dikenal dengan julukan Raden Said Sambernyowo. Ia adalah putra ke 7 KPH Hadiwijoyo I, yang menjabat sebagai adipati kadipaten Surakarta. Ia dilahir malam Ahad legi, tanggal 1 safar jumakir 1736 atau tahun1836 masehi, dengan nama Raden Mas Soediro[3]
Serat berarti kitab, sedangkan Wedhatama adalah bahasa sangsakerta, yaitu terdiri dari akar kata Wedha yang berarti ilmu pengetahuan, etika hidup, sedangkan tama adalah utama. Jadi Serat Wedhatama adalah kitab pengetahuan yang utama[4]. Tujuan menyusun kitab ini, RM Soediro adalah sebagai cerminan dirinya. Dan pada gilirannya diharapkan menjadi sebuah pelajaran bagi para putra dan turunannya, untuk dapat memiliki budi atau jiwa yang luhur bagi setiap kehidupan insan di dunia.
Namun, sungguh menggembirakan, kitab tipis ini bukan hanya berhenti di tangan para putra dan keturunan RM. Soediro, akan tetapi menjadi pegangan banyak orang ketika menginginkan hidup penuh makna dan penuh kedamaian. Realita ini tidak terlepas dari peran isi yang terkandung dalam Serat Wedhatama. Mengapa? Secara universal kitab ini memakai pendekatan analisis, namun juga tidak mengesampingkan peran spiritual dalam melakukan analisis. Nah, berangkat dari pendekatan tersebut maka penyuguhan pemikiran dan ajaran RM. Soediro tidak terasa kering bagi penikmatnya, lebih dari itu kitab ini mengandung teori humanisme dan teosentrisme.
Secara spesifik kitab ini memuat dua ajaran. Pertama, tuntunan hidup bagi pemuda. Artinya masa muda adalah masa perjuangan dalam mencipta sejarah, masa muda adalah gemilang untuk mematangkan bekal dalam menghadapi masa tua, meminjam bahasanya Hasan Al-Banna di tangan pemudalah sejarah tergenggam, di punggung pemudalah peradaban diemban. Kedua, tuntunan bagi kaum tua. Dalam hal ini, lebih pada bagaimana pengawasan orang tua terhadap anaknya dalam menjalani masa muda, di samping juga berisi tuntunan menyiapkan bekal diri dalam menghadapi kehidupan yang sebenarnya; kehidupan setelah kematian.[5]
Terlepas dari semua itu, kitab yang hanya terdiri dari 100 bait syair ini, kalangan priyayi Jawa mengatakan sebagai karya monumental RM. Soediro. Yang sekaligus menjadi pewarna dalam kancah khazanah intelektul Islam Jawa. Hal ini, tidak lain disebabkan oleh kandungan Serat Wedhatama yang sarat akan etika dan upayanya dalam menggapai makna hidup di tengah problem yang menghimpit. Disamping juga faktor sastranya yang cukup tinggi. Sehingga tidak heran jika para sastrawan dan budayawan mengolongkan sebagai sastra bermutu dan terdorong untuk mempelajarinya lebih mendalam.

Kitab Kehidupan
Kebutuhan akan agama dalam hidup adalah sebagai fitrah kemanusiaan, dan menjadi hal yang tidak bisa dipungkiri. Sebab disadarai atau tidak, agama adalah mediasi untuk mencapai puncak ketenangan, agama adalah medium untuk memahami hal-hal yang berbau metafisik. Sehingga kemudian dari beberapa peran agama dalam kehidupan manusia bisa jadi agama merupakan kebutuhan primer setiap manusia, dalam menempuh kehidupan di dunia ini.
Akan tetapi menjadi tidak sempurna, ketika keberagamaam seseorang tanpa dibarengi nalar kritis dalam menghadirkan keimanan yang bagi aliran teologi Mu’tazilah diejawantah sebagai puncak keberagamaan seseorang.[6] Untuk hal ini, filsafat menjadi unsure penting dalam mendatangkan nalar kritis sebagai wahana analisis dalam medan transferensial keilmuan. Sebab sudah menjadi ihwal yang pasti dalam mneganalisi sebuah persoalan sangat membutuhkan sintesa, logika, semantic bahasa untuk lebih mempergampang bagi pencapaian kebenaran yang diharapkan.
Dari kedua unsur itu, masih belumlah cukup dalam menggapai makna kehidupan sepenuhnya. Kalau demikian kira-kira apa yang menjadi penyempurna untuk sampai pada eksistensi manusia sebagai pemegang posisi strategis dalam memperlanjutkan kehidupan ini, sekaligus menjadi khalifah fil ard yang dituntut untuk merasa memiliki terhadap alam dan menjaganya (baca: melestarikan). Maka jawabannya adalah seni menjadi faktor pendukung dalam hal tersebut. Seni akan membuat hidup seseorang lebih indah, lebih sarat akan makna.
Semua unsur diatas, di sadari sepenuhnya oleh RM. Soediro, bahkan ia mengkaji lebih mendalam mengenai hakikat agama yang sebenarnya dan upaya penerapan keberagamaan sehari-hari. Hal ini, bisa dilihat pada baris ke 48 dalam susunan syairnya “samengko insun tutur sembah catur supaya lumuntur dhihin raga cipta jiwa rasa kaki ingkono lamun tinemu tandha nugrahaning manon[7] dalam syair ini menjelaskan empat macam sembahyang (baca: ibadah) manusia.
Sekurang-kurangnya berangkat dari syair ini tampak jelas keberagamaan RM. Soediro bukan semata-mata terlahir dari ruang kosong. Artinya beragama hanya sekedar ikut-ikutan atau sekedar paternalistic teologis, melainkan melibatkan peran akal dalam mencapai puncak tabaqat iman. Disamping juga RM. Soediro mempunyai kecakapan spiritualitas yang tinggi pula. Sehingga membagi laku spiritual manusia dalam empat bagian.
Pertama, sembahyang raga. Sembahyang ini baginya merupakan tingkatan pertama dan tingkatan yang paling bawa. Artinya shalat hanya dilaksanakan dengan bentuk laku badaniyah saja, tanpa mengikut sertakan peranan hati sebagai wujud dari kesempurnaan jiwa. Dalam kata lain melaksanakan shalat tidak dengan kekhusukan hati dan penyatauan jiwa.
Kedua, sembahyang cipta. Dalam tingkatan ini pelaksanaan shalat tidak terlepas dari intensitas latihan membangun kekhusukan. Dalam bahasanya Ibnu Arabi diistilahkan halaqah sufiyah, artinya senantiasa melatih diri untuk selalu rindu akan hadirnya Tuhan dalam hati, sehingga akan lebih khusuk, dalam upaya ini adalah lebih menekankan terhadap penguasaan akan  arti bacaan shalat.
Ketiga, sembahyang jiwa. Pelaksanaan shalat dalam tingkatan ini, sudah mencapai kekhusukan hati, tentunya sudah melewati tingkatan yang kedua dengan intesnsitas latihan mengolah laku hati, artinya bukan hanya sekedar khusuk, akan tetapi juga melibatkan kebersihan hati. Dalam kata lain menjaga hati dari penyakit menggorogotinya. Misal, sifat-sifat jelek, sombong, dengki, iri tamak, dll.
Terakhir, sembahyang rasa. Adalah merupakan puncak dari penghambaan manusia pada Tuhannya. Dalam tingkatan ini, penyatuan jiwa dengan Tuhan menjadi hal yang utama. Artinya menghamba tidak lagi bergantung pada waktu dan tempat, akan tetapi selalu merasa ada Tuhan dan selalu bersama Tuhan. Semua yang ada menggambarkan adanya Tuhan, dalam konsep wihdad al wujudnya, Ibnu Arabi disinyalir diciptakannya semesta alam adalah sebagai upaya Tuhan untuk mengenalkan diriNya pada HambaNya.
Dari sekian bagian mengenai shalat diatas, setidaknya didapatkan bagaimana etika hidup dan bagaimana membangun spiritualitas bagi terciptanya penghambaan yang sepenuhnya terhadap Tuhan. Etika hidup misalnya, akan didapatkan dari tingkatan pertama yang puncaknya berada pada tingkatan ketiga. Dalam artian sejauh mana seseorang mampu menahan gejolak hatinya dalam bergaul dengan orang lain dan mampu mengantisipasi sifat jelek yang tidak disukai oleh sesamanya.
Terlepas dari itu, Serat Wedhatama. Merupakan kurasan kitab kehidupan islam priyayi jawa, yang memberi warna tersendiri bagi terciptanya kehidupan yang benar-benar berasaskan Islam subtansial, bukan hanya sekedar islam sebagai normatif. Juga sangat cocok bagi siapa saja yang berkeinginan untuk mendalami spiritualitas dan meningkatkan seni berinteraksi dengan sesamanya.


[1] Yana MH, Falsafah dan Pandangan Hidup Orang Jawa, (Yogyakarta: Absolut Jogja, 2010), hlm. 121
[2] Ibid, hlm. 11
[3] Ki Sabdacarakatama, Serat Wedhatama, (Yogyakarta: Narasi, 2010), hlm. 9
[4] Ibid, hlm. 7
[5] Teguh, M, Ag, Moral Islam dalam Lakon Bima Suci,(Yogyakarta: Pustaka Belajar kerjasama dengan P3M STAIN Tulungagung, 2007), hlm. 123
[6] Hasan Hanafi, Dirasat Islamiyah (terj. Miftah Faqih) Islamologi; dari Teologi Statis ke Teologi Anarkis, (Yogyakarta: LKiS, 2007), hlm. 63
[7]  Ki Sabdacarakatama, Serat Wedhatama, (Yogyakarta: Narasi, 2010), hlm. 48

0 komentar:

Posting Komentar