Hidup adalah upaya untuk mencari nilai akhir

Sindroma Valentin’s Day di Kalangan Remaja

♠ Oleh Roesly. Kh | | 18.10
Sindroma Valentin’s Day di Kalangan Remaja
Oleh: A. Roesliyanto)*

Tanggal 14 Februari mempunyai momen penting bagi kalangan remaja, apalagi bagi remaja yang mempunyai pujaan hati. Fenomena ini menjadi sebuah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri lagi. Bahkan Tanggal 14 Februari diyakini sebagai waktu tepat untuk menunjukkan kasih sayang pada pujaan hatinya. Momen ini dikenal dengan istilah valentine’s day, hari kasih sayang. Yang menjadi pertanyaan, haruskah kasih sayang pada sang pujaan hati masih menunggu hari valentin?
Mengacu pada pertanyaan di atas, maka jawabnya pasti tidak!. Akan tetapi kasih sayang adalah elemen terpenting dalam membangun sebuah kebahagiaan dan keberlangsungan hubungan yang memerlukan kontinuitas. Dan pada gilirannya kasih sayang akan menyuguhkan sesuatu yang menjadi cita-cita bersama bagi sepasang sejoli. Yaitu, hidup bahagia penuh cinta dan menatap masa depan gemilang hubungan yang bermuara pada hidup bersama dan membangun rumah tangga yang harmonis, sakinah mawaddah warahma.
Ironisnya, tradisi valentin ini sudah kadung menularkan sindroma mengakar di benak  remaja, dan menyuguhkan mode bagi tumbuhnya benih gaya hidup konsemerisme dan hidonisme. Valentin menjadi sebuah kebutuhan yang tanpanya klaiman ‘jadul’ akan di labelkan. Padahal sejatinya, hal tersebut bukan lantas kemudian menjadi sebuah tolak ukur bagi hadirnya klaiman jadul pada seseorang. Akan tetapi, sekurang-kurangnya adalah filteralisasi terhadap sebuah realitas  yang pantas untuk memberikan klaiman terhadap seseorang.
Artinya, tidak selamanya valentin menjadi sebuah realitas yang harus dipraktekkan dalam hidup,  yang sebab tanpanya kemudian ada klaiman tidak mengikuti perkembangan zaman. Akan tetapi, adalah upaya penyaringan dalam taraf penerapan bagi terciptanya kehidupan yang mapan, relevan dengan berlangsungnya kehidupan yang bernuansa agamis dan tidak terlepas dengan norma-norma berlaku  yang cukup tepat untuk menghadirkan klaiman buruk tersebut.
Lebih dari itu, adalah bentuk ungkapan rasa kasih sayang dalam tradisi valentin. Dalam hal ini, ialah dengan memberi sepotong coklat. Fenomena ini, akan terasa janggal kemudian ketika dipikir lebih mendalam. Artinya, kasih sayang yang merupakan elemen terpenting dalam sebuah hubungan hanya dianalogikan dengan sepotong coklat. Lucu bukan? Tapi hal tersebut sudah kadung menjadi sebuah kenyataan miris untuk diceritakan.
Tragisnya, sepotong coklat dapat memberi daya pikat yang manjur dan mempunyai kekuatan dahsyat yang mampu menyihir. Lebih dari itu, seakan-akan sepotong coklat mewakili semua mengenai cinta dan kasih sayang. Sehingga kerap didapatkan kelakuan-kelakuan di luar batas kesadaran, dan  diwujudkan dengan menyerahkan mahkota kesucian yang merupakan aset berharga bagi setiap orang, ditukar dengan anggapan sementara terkait kasih sayang yang masih bersifat absurd.
Berangkat dari problema tersebut tidak salah kemudian Soe Hok Gie mendefinisikan cinta hanyalah sebatas nafsu kelamin yang dibuat sedemikan indah. Nah, persoalannya sekarang adalah bagaimana menghadirkan cinta yang tidak hanya sebatas nafsu kelamin belaka. Akan tetapi memberi nilai positif dan mampu membawa kita pada arah yang positif pula. Sehingga cinta terkait dengan tradisi valentin bisa menyuguhkan makna hidup di tengah sederetan problema yang menghimpit.

Ramah Sikap
Kita harus sepakat, bahwa menghapus kebiasaan yang kadung mentradisi adalah pekerjaan yang sangat sulit bahkan bisa jadi hal yang mustahil. Untuk hal itu, langkah yang lebih arif adalah melakukan interpretasi ulang dan memfilterisasi tradisi, sehingga kemudian tidak terkesan menghakimi terhadap tradisi tersebut.
Tradisi valentin yang sudah tidak dapat dipisahkan lagi dengan gaya hidup remaja akan menjadi esensial ketika dilakukan upaya pergeseran paradigma (sifting paradigm), dari romantisisme sesaat menuju intensitas cinta yang pada gilirannya mampu melahirkan kasih sayang tanpa batas. Tentunya dalam mewujudkan hal ini tidak segampang membalikkan tangan, tapi sangat butuh terhadap ramah sikap yang menjadi sebuah landasan dalam menjalin hubungan.
Ramah sikap di sini, dapat dibentukkan dengan sikap saling terbuka, saling membangun kepercayaan yang pada akhirnya bermuara pada rasa kasih sayang tak terhingga. Dan kasih sayang yang tidak melulu pada hari valentin saja. Namun, yang terpenting dari semuanya adalah ‘sepasang sejoli’ mampu melahirkan kesadaran akan pentingnya menjaga kehormatan dirinya terkait dengan mahkota kesucian yang ia miliki. Sehingga dengan upaya ini remaja  tidak gampang terlena dengan rayuan bahasa cinta yang absurditas.
Nah, dengan upaya ini, penulis optimis akan terwujudnya makna valentin secara esensial, bukan hanya sebatas makna subtansial yang cenderung menjadi media untuk mengungkapkan rasa kasih sayang sesaat dan kerap kali memicu terjadinya perlakuan senonoh yang tidak bermoral.



0 komentar:

Posting Komentar