Hidup adalah upaya untuk mencari nilai akhir

Tahun Baru

♠ Oleh Roesly. Kh | | 12.07
Dia masih berusaha membujukku untuk pergi ke alun-alun. Padahal jelas-jelas kemarin aku sudah bilang, tahun baru kali ini akan kuhabiskan akhir tahun dalam kamar. Ya, pergi ke alun-alun. Alun-alun dikampungku, menjadi tempat yang multiguna, terkadang menjadi tempat melakukan  ritual dhammong; ritual minta hujan di kala kemarau panjang mendera musim. Namun juga tak jarang, alun-alun dijadikan tempat untuk menumpahkan segala bebuncah rasa bahagia, terlebih pada malam jelang tahun baru. Ya, tahun baru yang diyakini sakral oleh penduduk desaku.
Semua berbondong-bondong menuju arah selatan, menuju alun-alun yang letaknya berdampingan dengan kantor kecamatan, dan tidak begitu jauh dari rumahku hanya sekitar 500 M ke selatan, tepatnya di depan masjid Baitul Hannan, satu-satunya masjid terbesar di kampungku. Ya, orang-orang menamai alun-alun itu dengan nama alun-alun selatan. Entah! Aku juga tidak banyak tahu tentang sejarahnya, mengenai nama alun-alun selatan itu sendiri. Tapi, menurut cerita nenek ketika dulu aku masih kecil, tempat tersebut awalnya adalah benteng pertahanan dari serangan belanda yang datang dari arah selatan, dari arah selat yang menjadi tempat berlabuhnya kapal-kapal belanda tempo dulu.
Namun yang tetap mengganjal dalam benakku, adalah hubungan alun-alun selatan dengan hadirnya tahun baru? Bukankah, bulan Januari yang menjadi awal bulan dalam hitungan tahun merupakan adopsi dari nama dewa dalam sejarah Romawi. Yaitu Janus, Janus dipandang cocok sebagai personifikasi awal tahun. Ia memiliki dua wajah yang satu mengarah ke depan dan yang lain ke belakang pada saat yang bersamaan. Lewat dari berbagai pengalaman masa lalu, seseorang dapat mengaca dan tahu apa yang salah dan mana yang benar.
***
Jarum kecil jam di dinding kamarku, masih condong pada angka 10, detaknya mengikuti degup jantungku. Aku sedikit nelangsa dan rasa jenuh seakan datang dengan tiba-tiba merasuki fikiran. Sementara di luar sunyi sepi menyatu, tak ada suara yang terdengat hanya bunyi jakrik mengisi kendang telingaku, kesiur angin perlahan menggerek pohon bambu di samping rumahku. Ngeri kurasa, takut menggelora menyelimuti rung sadarku. Masih belum genap 5 menit tiba-tiba temanku datang. Paijo namanya, ia adalah  teman di kala suka dan duka. Sama seperti dia, Paijo juga mengajakku untuk ikut nimbrung menyambut datangnya tahun baru di alun-alun.
“Paijo, apa istimewanya menyambut datangnya tahun baru di alun-alun? Bukannya hakikat penyambutan tahun baru sebagai mediasi untuk introspeksi diri? ” tanyaku untuk menolak ajakan Paijo pergi nimbrung ke alun-alun selatan yang di anggap mempunyai kekuatan mistis itu. Paijo orang yang inklusif terhadap pendapat orang lain, serta rendah hati namun ia juga pantang menyerah hadapi masalah, awalnya terjadi perdebatan panjang mengenai penyambutan tahun baru di alun-alun. Tetapi akhirnya ia juga bisa menerima pendapatku yang tidak sepenuhnya setuju penyambutan tahun baru di alun-alun.
Setelah kedatangan Paijo, seakan sepi dalam kamar malam itu, berakhir dengan sendirinya. Melainkan kamarku berubah disesaki gema suara kami berdua. Ya, Paijo sangat suka sastra, dan puisi menjadi pilihan yang digelutinya. Baginya puisi merupakan sepenggal daging yang di potong dengan bentuk kata-kata. Lebih dari itu, Paijo mendeklamasikan puisi miliknya Khairil Anwar yang berjudul “Aku”. Semakin ramai ku rasa dalam kamar, dan Paijo mengurungkan niatnya untuk tidak nimbrung di alun-alun dan memilih melelapkan mimpi di kamarku.
***
Darrr… dirrr… dorrr… terdengar suara letusan di arah selatan. Entah, suara letusan petasan atau kembang api? Tapi biasanya diawali dengan penyulutan petasan, hingga akhirnya disusul dengan kembang api yang mewarnai gelap gulita malam menjelang tahun baru. Ya, kembang api menerangi gulita malam dengan beberapa warna. Tahun baru kali ini, bintang tidak menampakkan dirinya hiasi langit, apalagi pancaran sinar rembulan, waktu itu bisa dikata sedang mengurung diri dalam rotasinya.
Sesekali aku pandangi Paijo yang baru terlelap dengan mimpinya, kelihatannya ia cukap pulas dengan tidurnya, bahkan sampai menggorok, membuatku sedikit merinding mendengarnya. Terbersit di hatiku untuk keluar, sekedar melihat letusan kembang api yang memancarkan cahaya berbagai warna menghiasi gelapnya malam jelang tahun baru. Waktu itu, jam masih menunjukkan 11.30 tinggal 30 menit lagi memasuki tahun baru yang kebanyakan orang kampungku menyambutnya di alun-alun.
Aku membayangkan betapa riangnya orang-orang yang ada di alun-alun. Sorak sarainya menggemuruh menempus sunyi malam, merayap di jajaran rumah-rumah dan menembus sengkedan sawah yang berpetak-petak, hingga  sampai terdengar jelas ke radius 500 M, tepatnya ke rumahku. Aku duduk di bawah pohon jambu, samping beranda rumahku, di dekat kolam yang ikannya menggelepar-gelepar, seakan ikut riang dengan datangnya tahun baru. Dalam hatiku “tahu aja kau ikan, sedemikian riangnya dengan pergantian tahun, padahal kau tidak tahu terhadap apa yang kurasakan saat ini”. Tidak ada yang pantas kubanggakan pada tuhun baru kali ini. Hanya penyesalan yang tidak bertepi menjadi bahan introspeksi diri.
Masih saja aku terpaku dengan tangan menunjang dagu di bawah pohon jambu, di pinggiran kolam samping beranda. Sorot pandang masih kutujukan pada beberapa ikan yang riang dengan geleparnya dalam kolam, di sana mataku mendapatkan hal yang ganjil, ada seekor ikan yang murung bahkan sepertinya tidak punya gairah hidup lagi. Fikiranku menjurus pada keadaanku sendiri. Akankah nasib ikan ini sama dengan nasibku? Dalam benakku bertanya pada diri sendiri. Bahkan sampai larut dengan alur fikiran sendiri yang tidak menentu. Sementara di sana, di alun-alun letusan kembang api semakin bising dan pancaran cahayanya gemerlapan menggantikan taburan bintang penghias langit.
Sejenak kulihat jam tangan yang melingkar di tangan kiriku. Ya, jam tangan berharga,hasil kado ulang tahun yang ke 17 pemberian ibuku. Mataku terbelalak ketika mendapatkan jarum besar menunju pada angka 9 dan jarum kecilnya setegak huruf alif menjungjung angka 12. Tinggal 15 menit lagi pergantian tahun, suaraku parau ketakutan. Takutku hadapi tahun baru disebabkan karena perasaan negatif yang selalu menghantui pikiran, terkait dengan perkembangan zaman yang tengah dinikmati saat ini dan menyebabkan dekadensi moral mengkecambah baik di pedesaan lebih-lebih di perkotaan, juga takut terhadap problem akut yang mendunia saat ini. Yaitu, perubahan iklim. Ironisnya cuaca semakin tidak menentu dan global warming menjadi agenda awal yang harus ditangani secara serius dan sungguh-sungguh.
Masih saja dari arah selatan suara letusan kembang api membahana, bahkan lebih. Sebabnya Langit cerah gilang gemilang, pendar cahanyanya nyaris mengalahkan pancaran rembulan yang purnama. “hedonisme betul! kehidupan orang-orang saat ini, tahun baru diisi dengan penyulutan kembang api. Tidakkah ia berfikir sebenarnya apa hakikat penyambutan datangnya tahun baru? Tapi malah tahun baru dijadikan medium untuk hedonis” gerutuku dalam hati. Berselang beberapa menit kemudian, suara teriakan membahana menyesaki ruang sunyi kampungku, di susul dengan letusan kembang api yang nyaring pula serta menaburkan warna cerah yang terus berkelindan dan tak kunjung padam dari pandanganku. Yups! 2011 telah tiba. Suaraku lirih, sambil coba berusaha menata rasa optimis menghadapi bulan-bulan yang akan berlangsung berikutnya.
***
Memasuki 2011 mantap aku bangun dari dudukku, mau tidur belum juga payah dan ngantuk. Masalah tidur, sebenarnya menjadi kebiasaan bagiku setelah fajar sodiq melintang di kaki langit baru bisa terlelap tidur. Ya, aku terbilang orang yang susah tidur malam. Pernah suatu ketika aku konsultasi kepada dokter mengenai kebiasaan yang bagiku terkesan sedikit aneh dan berbeda dengan teman-temanku. Tak ayal dan cukup membuatku tidak percaya ketika dokter bilang “kamu menderita penyakit imsomnia tuturnya”
Terus aku melangkah, memasuki beranda rumah, disana, kursi goyang yang selalu menemani malam-malamku terlihat kesepian, sepertinya memerlukanku untuk duduk dan menerjemah penderiataan hidup dan problem yang menghimpit. Kursi ini adalah tempatku menuliskan sajak, cerita pendek sampai fajar datang menjemput subuh di beranda pagi. Aku duduk tenang di kursi itu, sementara jalan di depan rumahku ramai dengan suara sepeda motor, namun juga tak jarang kudapatkan orang yang jalan kaki. Mereka adalah orang-orang yang baru datang menyambut tahun baru di alun-alun. Di perbudak oleh naluri hedonismenya orang-orang itu. Batinku berkata sambil tersenyum tipis dengan gelengan kepala sendiri.
Berapa lama kemudian, rasa jenuh duduk di kursi goyang itu, menyeruak mengajakku untuk berdiri dan berinisiatif untuk pergi ke alun-alun, melihat bekas-bekas tahun yang baru lewat dan pergi meninggalkan manusia. Aku melangkah ke arah selatan, menyusuri berpetak-betak sawah, dan jejeran sampah yang berserakan. Dasar! Manusia memang tidak punya nurani, sudah tahu global warming kronis tapi tidak pernah sadar akan sikap ramah lingkungan, buang sampah sembarangan, plastik tak bertuan dibiarkan begitu saja berserakan di pinggir jalan. Terus aku berjalan kearah selatan, semakin jauh keselatan, semakin rasa dongkol hatiku menjadi-jadi; melihat puntung rokok berserakan merusak pandangan mata. Bagaimana mau meminimalisir terjadinya global warming, kalau manusianya  acuh tak acuh dan bersikap apatis terhadap global warming itu sendiri? Gerutuku menemani rasa dongkol hati yang berkobar.
Akhirnya, aku sampai pada alun-alun yang menjadi tujuan, di sini kudapatkan 3 cleaning service yang sibuk menyapu serakan sampah bertebaran jadi se alun-alun. Otakku terseret ingatan pada suatu masa; dimana waktu ketika kecil aku dulu, guru alifku, pernah bilang “kebersihan itu, sebagian dari iman” fikiranku terlintas pertanyaan, akankah penduduk di sini, beriman? jika kenyataannya seperti ini, tidak bertanggung jawab terhadap kebersihan lingkungan.
Selanjutnya, aku mendatangi salah satu orang dari cleaning service yang bekerja bersihkan serakan sampah itu, kelihatannya mereka payah dan mungkin sangat lelah. Dapat dibayangkan jam 1.30 waktu itu, masih menyapu serakan sampah tak bertuan di alun-alun, itupun masih belum kelar separuh alun-alun yang selebar bandara pesawat terbang. Aduh…! Betapa mulianya mereka, dalam mengemban tugas, di samping bentuk implementasi sikap nasionalisme terhadap Negara juga menata keimanan dengan melalui sikap respek terhadap masalah kebersihan.
“Malam pak” sapaku pendek, gimana tahun baru kali ini?
“cukup menarik mas, tahun baru kali ini lebih ramai dari tahun baru yang kemarin, demikian juga sampahnya.” Tuturnya ketus, seakan rasa capek telah mendistorsi fikirnya, dan guratan garis di dahinya Nampak jelas, menggambarkan terlalu sering memikirkan problema hidup dan mencicipi pahit manisnya kehidupan.  Ya, tahun baru kali ini cukup ramai dan juga cukup menyumbang terhadap massifnya global warming. Sebab serakan sampah, dan asap kembang api yang membungbung, menerobos awan menambah besar bocoran lapisan ozon. Akhirnya, aku pulang ketika fajar pertama tahun 2011 melintang dikaki ufuk yang tak berbintang.

0 komentar:

Posting Komentar