Hidup adalah upaya untuk mencari nilai akhir

Valentine’s Day dalam Literatur

♠ Oleh Roesly. Kh | | 18.03
Awal bulan Februari lalu, pernah saya ditanya oleh teman seorgan, “gimana kabarmu, dan kabar cewekmu?” kontan saya terperangah sambil menampakkan wajah setengah senyum, walau dipaksakan, sebagai bentuk jawaban sekaligus penghargaan sama dia.
Lebih geli dari itu, teman seorgan tadi kembali bertanya, “valentin kali ini apa yang akan kau suguhkan pada cewekmu? ”senyum saya waktu itu tambah melebar nampak membuka bibir. Tanpa terasa tangan saya menepuk bahu teman seorgan itu, dan berkata, “cewek? terlalu pagi untuk kupikirkan dan valentin yang dipahami remaja terlalu miris untuk dimeriahkan.”
Realitas ini-budaya pacaran, menjadi hal yang lumrah di kalangan remaja. Bahkan budaya pacaran bagi remaja dikonotasikan sebagai bentuk upaya dalam mendapatkan sebutan ‘anak peradaban’.  Menariknya, ketika menjelang tanggal 14 Februari, bisa dikata angka ini di bulan Februari adalah angka yang dinanti-nanti oleh kebanyakan remaja. Sebab, tanggal 14 Februari diyakini sebagai waktu untuk menunjukkan rasa kasih sayang.
Anehnya, waktu ini hanya spesial pada pujaan hatinya dan jarang dijadikan ajang untuk menunjukkan rasa kasih sayang pada orang yang sangat berjasa dalam kehidupan kita. misalnya, kedua orang tua yang telah mengasuh sejak kecil dan guru yang telah mengajari kita. Padahal, orang yang lebih utama untuk disayangi adalah mereka yang berjasa dalam kehidupan kita, baru menyayangi pada selain orang tersebut. Sebut saja, cewek yang menjadi plihan sekaligus pujaan hati.
Karena itu, sangatlah sulit dipisahkan antara ‘budaya pacaran’ remaja dengan perayaan hari valentin. Keduanya seolah-olah menjadi simbiosis mutualisme yang kerap kali mengundang terjadinya penyimpangan prilaku remaja. Sebab memiliki ‘pacar’ remaja sering merasa tidak enak kalau tidak memperingati hari valentin, takut dikatakan tidak sayang dan terkesan bersikap ‘dingin’ dalam menjalin hubungan. Sejatinya kasih sayang tidak cukup di ungkapkan ketika valentin an sich. Akan tetapi memerlukan waktu yang intens dan kontinu.
Ironisnya, adalah anggapan remaja saat ini. Tidak dikatakan menjalin hubungan-berpacaran- ketika masih belum sama-sama memberi kepuasan terkait kebutuhan biologis keduanya. Anggapan ini, sebenarnya dipengaruhi oleh budaya westernisasi yang kemudian diadopsi oleh remaja dengan alasan modernisasi. Parahnya adalah remaja seakan tidak pernah merasa bersalah ketika melakukan apa yang telah dikemukakan diatas.  Mungkin ini juga termasuk salah satu deretan dari setumpuk permasalahan mengenai budaya konsumerisme remaja.
Menjadi hal yang janggal kemudian, ketika valentin dibenturkan dengan kebiasaan hidup kaum remaja yang cenderung amoral dan tanpa berpikir panjang. Artinya, valentin kerap kali disalah pahami oleh para remaja, dan dijadikan media untuk meraih kenikmatan sesaat bagi tersalurnya kebutuhan biologisnya. Nah, disinilah yang menjadi bentuk kejanggalan sekaligus menjadi torehan tinta buram seiring perjalanan hidup remaja dalam catatan sejarah. Tragis bukan?

Literatur kaum pecinta
Mengenai kejelasan asal-muasal valentin, sebenarnya tidak ada data yang akurat. Apalagi yang mengacu pada pengungkapan kasih sayang. Menurut satu sumber Asal mula hari Valentine tercipta pada jaman kerajaan Romawi. Menurut adat Romawi, 14 Februari adalah hari untuk menghormati Juno. Ia adalah ratu para dewa dewi Romawi. Di hari berikutnya, 15 Februari dimulailah ritual paganisme, ritual satanis, yang penuh kemaksiatan. Ritual kuno ini di zaman Romawi dikenal dengan Feast of Lupercalia, dimana para pemuda dan pemudi diperbolehkan melakukan kemaksiatan di mana pun mereka mau.
Dalam versi lain, justru menghubungkan hari raya Santo Valentinus dengan cinta romantis adalah pada abad ke-14 di Inggris dan Perancis, di mana dipercayai bahwa 14 Februari adalah hari ketika burung mencari pasangan untuk kawin. Kepercayaan ini ditulis pada karya sastrawan Inggris Pertengahan bernama Geoffrey Chaucer. Ia menulis di cerita Parlement of Foules (Percakapan Burung-Burung) bahwa, surat inilah dikirim pada hari Santo Valentinus, saat semua burung datang ke sana untuk memilih pasangannya.
Kebiasaan para pencinta pada jaman itu lazim bertukaran catatan pada hari valentine dan memanggil pasangan mereka. Sebuah kartu Valentine yang berasal dari abad ke-14 konon merupakan bagian dari koleksi naskah British Library di London. Kemungkinan besar banyak legenda-legenda mengenai santo Valentinus diciptakan pada jaman ini. Namun, yang lebih mashur adalah mengenai pembangkangan santo Valentinus terhadap Kaisar Claudius II terkait larangan menikahkan para serdadu Romawi.
Berangkat dari beberapa sumber diatas, hari valentin memiliki latar belakang yang tidak jelas sama, baik dari ceritanya maupun waktu terjadinya, perhatikan abad terjadinya sejarah diatas walaupun ada nama tokoh yang sama. Yang menjadi persoalan kemudian, apakah masih mau merayakan valentin yang nyata-nyata tidak ada landasan dan tidak ada kejelasan asal-usulnya?
Dengan ini, maka bisa dikatakan bahwa valentine’s day hanya-meminjam bahasanya Pierre Bordieo- semacam “dominasi simbolik” yang dilakukan oleh para remaja. Artinya, sebenarnya tidak ada kebenaran akan sejarah valentin, akan tetapi hanya pembenaran terhadap sejarah valentin. Yang pada gilirannya hal ini disulap oleh remaja menjadi “literatur kaum pecinta” sekaligus dibudayakan.
Nah, untuk mengahiri tulisan ini-dalam upaya menghadirkan kesadaran remaja akan pentingnya kasih sayang yang tidak harus ternodai- adalah perlunya mengembalikan makna kasih sayang yang sebenarnya, seperti dalam 1 Yohanes 4:16: "Kita telah mengenal dan telah percaya akan kasih Allah kepada kita. Allah adalah kasih, dan barangsiapa tetap berada di dalam kasih, ia tetap berada di dalam Allah dan Allah di dalam dia".

0 komentar:

Posting Komentar