Hidup adalah upaya untuk mencari nilai akhir

Mahasiswa dan Dekadensi Keilmuan

♠ Oleh Roesly. Kh | | 17.53
Dalam catatan sejarah, mahasiswa mempunyai andil besar dalam melakukan perubahan politik di Indoensia. Misalnya, perubahan kekuasaan dari rezim Orde Lama ke rezim Orde Baru pada tahun 1965. Begitu pula pada tahun 1998, tanpa kehadiran ribuan mahasiswa di gedung MPR/DPR, sangatlah sukar untuk membuat Soeharto mundur dari jabatan presiden. Bahkan, jika dilihat jauh ke belakang, peran mahasiswalah yang membidani lahirnya negara Indonesia.
Sebagai misal adalah didirikannya Boedi Oetomo pada 1908, yang meskipun bersifat primordial etnik, organisasi mahasiswa pertama di Jawa ini telah berhasil memberikan semangat kepada mahasiswa dan pemuda lainnya untuk bercita-cita merdeka. Dengan ini kemudian, Soewarsono (1999) memetakan bahwa sejarah awal Indonesia moderen, tentang peran  mahasiswa memiliki empat “tonggak”, yaitu “angkatan 1908″, “angkatan 1928″, “angkatan 1945″ dan “angkatan 1966″. Selanjutnya, Soewarsono menyebut bahwa keempat angkatan tersebut adalah generasi-generasi dalam sebuah “keluarga”, yaitu sebuah catatan-catatan prestasi “satu generasi baru” tertentu.
 Terlepas dari itu, timbul kata agent of change, inilah predikat yang disandang mahasiswa. Dalam waktu bersamaan, predikat ini pula mengantarkan mahasiswa pada peran strategis. Yaitu, menjadi salah satu pilar demokrasi. Tentunya predikat tersebut menjadi kebanggaan tersendiri bagi mahasiswa dan merupakan nilai lebih, baik lebih dari aspek taraf kedewasaan lebih-lebih dari aspek keilmuan. Yang perlu diperjuangkan, dan menuntut tindakan nyata bagi terwujudnya perubahan yang berguna bagi bangsa dan negara.
Berdasarkan pernyataan di atas, Sekurang-kurangnya predikat agent of change menjadi barometer dari matangnya keilmuan mahasiswa, yang pada gilirannya menjadi bekal untuk melakukan transformasi ilmu pengetahuan bagi terciptanya perubahan yang lebih positif, dan mengarah pada peradaban yang lebih maju, sebagaimana yang telah dijelaskan diatas. Nah, permasalahannya adalah, untuk membangun peradaban tidak semudah membalikkan tangan, akan tetapi membutuhkan proses panjang yang –dalam hal ini- ilmu pengetahuan menjadi pondasi bagi kokohnya bangunan peradaban tersebut.
Menjadi ironi kemudian, ketika dihadapkan dengan fakta belakangan ini, mahasiswa menyuguhkan kenyataan pahit yang tak terbantahkan. Yaitu, mengalami dekadensi keilmuan yang cukup drastis. Dan lupa terhadap predikat yang disandang sejak sediakala. Dulu mahasiswa dipandang sebagai sosok yang bijaksana, pandai, sangat ditakuti dan disegani. Sedangkan yang terjadi sekarang malah sebaliknya. Ironis bukan?

Pentingnya literatur
Disadari atau tidak, literatur menjadi media urgen dalam mencetak keilmuan. Apalagi dikalangan mahasiswa. Sebab tidak bisa dipungkiri, dunia mahasiswa sarat dengan berbagai macam tugas, mulai dari resensi buku sampai menulis makalah. Tentunya hal itu, diharapkan sekaligus menjadi upaya pematangan keilmuan mahasiswa. Pula dengan tugas, menuntut mahasiswa untuk melakukan penggalian literatur yang banyak, yang kemudian menjadi bahan dalam memudahkan penyelesaian tugas tersebut.
Arena bagi para pelajar untuk mendapatkan literatur disini, bukan hanya terpaku pada setumpuk buku, yang berderet panjang menjadi ‘dinding’ diperpustakaan. Akan tetapi, di tengah arus modernitas ini, kecanggihan teknologi juga menjadi media yang cukup praktis, untuk mendapatkan literatur sebanyak mungkin. Misalnya, yang sangat nampak dan cukup terasa bagi kita, yaitu dengan  gampangnya akses media internet.
Namun yang terjadi saat ini, mahasiswa justru menyalahgunakan literatur, bahkan nyaris tidak memperhatikan lagi terhadap pentingnya literatur. Hal ini, bisa dilihat dari budaya mahasiswa dalam menyikapi teknologi.  Artinya, mahasiswa kerap kali menjadikan teknologi sebagai batu loncatan untuk menyelesaikan tugas. Sepintas kita akan mengatakan wajar, akan tetapi yang tidak wajar adalah –ketika kecanggihan teknologi dijadikan tempat pelarian untuk copy paste. Dengan hal tersebut kemudian,  sangat tepat, jika mahasiswa sekarang ini dikatakan berparadigma instan.
Nah, tanpa disadari paradigma ini, telah menjadi matarantai yang ‘menyulap’ mahasiswa kian terpuruk, dan kualitas keilmuannya perlu dipertanyakan kembali. Lebih tragis dari itu, paradigma instan ini, telah mampu menjadi penyulut bagi berkobarnya  ketidakpercayaan masyarakat terhadap mahasiswa. Tentunya hal ini, perlu penanganan yang cukup serius, guna mengembalikan citra mahasiswa sebagai agent of change dan semua predikat yang telah disebutkan di atas.

Kreativitas dan imajinasi
Fakta sosial dan tipologi belajar tersebut, harus segera diakahiri, atau sekurang-kurangnya diantisipasi oleh para mahasiswa. Paradigma instan yang mengangankan bahwa semakin bisa menyelesaikan tugas, semakin mudah untuk mendapatkan nilai tinggi adalah mimpi di siang bolong! Sebab menjadi mustahil, ketika instanisme yang dipakai untuk menyelesaikan tugas, maka akan lebih mudah untuk menyelesaikan soal ujian akhir semester.
Untuk menanggulangi problem tersebut, dalam tulisan ini, penulis menawarkan kreativitas “cinta baca”. Artinya, deretan buku di perpustakaan jangan hanya dijadikan pajangan, yang setiap waktu menjadi bahan tontonan untuk sekedar melampiaskan rasa iseng. Akan tetapi, dengan adanya perpustakaan seyogyanya difungsikan sebagaimana mestinya. atau minimal merasa nyaman berada diperpustakaan seperti yang pernah disinyalir oleh Jorge louis Borges (1987), aku membayangkan perpustakaan laksana surga. Nah, dengan slogan ini kemudian, maka akan merasa nyaman berada di perpustakaan.
Akan tetapi, dirasa masih kurang, ketika melulu memprioritaskan baca, tanpa adanya imajinasi yang tinggi. Jelasnya, dalam mengembalikan kepercayaan masyarakat yang lama pudar maka diperlukan mahasiswa yang kaya imajinasi. Tentunya imajinasi yang bukan terlahir dari ruang kosong, melainkan imajinasi yang terlahir dari penghayatan membaca buku dan realitas yang tengah terjadi saat ini. Yang pada gilirannya diwujudkan dalam bentuk nyata, baik dalam tindakan maupun dalam melakukan transformasi ilmu pengetahuan.
Dan sebagai penutup, penulis optimis akan terwujudnya agent of change yang sesungguhnya, bukan hanya sekedar formalitas belaka, juga akan mengembalikan ketertarikan masyarakat terhadap peran mahasiswa sebagai insan terdidik yang mempunyai kapasitas keilmuan mumpuni

0 komentar:

Posting Komentar